Biografi
Laura
Mulvey adalah seorang ahli teori feminis pada film Inggris yang lahir pada 15
Agustus1941 yang menjalani pendidikan di Universitas St Hilda, Oxford. Saat ini
Laura Mulvey adalah seorang profesor film dan media belajar di Birbeck,
University of London.
Laura Mulvey
terkenal karena esainya yang berjudul “Visual Pleasure and Narrative Cinema”
(Kesenangan Visual dan Narasi Sinema), yang ditulis pada tahun 1973 dan
diterbitkan pada tahun 1975 dalam jurnal Layar teori film Inggris yang
berpengaruh.
Artikelnya
adalah salah satu esai besar pertama yang membantu menggeser orientasi teori
film terhadap psikoanalisis, dipengaruhi oleh teori Sigmund Feud dan Jacques
Lacan.
Sebelum Mulvey,
film teoritisi seperti Jean-Louis Baudry dan Christian Metz menggunakan ide
psikoanalitik dalam rekening teoritis bioskop mereka. Namun, kontribusi Mulvey
adalah untuk meresmikan persimpangan teori film, psikoanalisis dan feminisme.
Mulvey
menyatakan bahwa ia bermaksud utnuk menggunakan konsep Freud dan Lacan sebagai
“senjata politik”. Dia kemudian menggunakan beberapa konsep mereka untuk
menyatakan bahwa aparat sinematik klasik Hollywood pasti menempatkan penonton
dalam posisi subjek maskulin, dengan sosok wanita di layar sebagai objek
keinginan dan “tatapan laki-laki”.
Dalam
era klasik sinema Hollywood, pemirsa didorong untuk mengidentifikasi dengan
protogonis dari film, dan yang masih didominasi oleh pria
Konsep
Pemikiran Laura Movley Terhadap Keberadaan Gender Perempuan Dalam film
Dalam tulisannya, Visual
Pleasure and Narrative Cinema, Laura Mulvey menyatakan bahwa film yang
beredar dalam masyarakat merupakan hasil bentukan dari sistem patriarki sosial.
Menggunakan pendekatan psychoanalytic, Mulvey mengkritisi bahwa
keberadaan tokoh perempuan dalam film bukanlah sebagai pencipta makna,
melainkan hanyalah pembawa makna. Dengan berperan sebagai pembawa makna,
perempuan dapat memiliki peran dalam masyarakat patriarkal yang dibentuk oleh
laki-laki. Dalam memenuhi partisipasi tersebut, perempuan memainkan perannya
dengan menjadi seorang ibu, yaitu dengan melahirkan anak-anaknya.
Walaupun demikian,
keberadaan perempuan tidak dapat dihapuskan dari sistim masyarakat patriarkal.
Untuk dapat disebut sebagai pihak yang dominan, laki-laki membutuhkan perempuan
yang diibaratkan sebagai the castrated women (Perempuan adalah makhluk yang terkebiri. Hal inilah yang
menyebabkan perempuan berkedudukan lebih rendah dari laki-laki, karena
perempuan tidak memiliki penis). Kekurangan yang terdapat pada perempuanlah
yang membuat laki-laki menempati posisi tertinggi dalam status sosial
patriarki. Laki-laki dapat mewujudkan semua fantasi dan obsesinya dengan adanya
perempuan, sementara perempuan masih terbelenggu dengan statusnya sebagai
pembawa makna.
Mulvey juga mengangkat
salah satu teori Freud, scopophilia, yaitu kenikmatan yang diperoleh
subjek saat menjadikan orang lain sebagai objek pandangan. Menurut Freud, scopophilia
dapat dilihat pada perilaku voyeuristic anak-anak. Mereka mendapat
kepuasan dengan melihat diam-diam dan berusaha agar tidak diketahui oleh orang
lain. Hal yang demikian dapat dilakukan oleh penonton yang menonton film di
bioskop. Penonton terisolasi dari keberadaan penonton lain. Selain itu, bioskop
yang gelap membuat penonton dapat menikmati adegan-adegan dalam layar tanpa
mengkhawatirkan pandangan penonton lain.
Scopophilia dalam film
–dengan bantuan kamera untuk mengendalikan pandangan penonton—merupakan
kenikmatan yang diperoleh penonton saat memandang objek (perempuan) dalam film.
Penonton mengidentifikasikan kamera dengan diri mereka sendiri. Dengan scopophilia,
penonton seolah-olah memiliki kuasa atau kendali atas apa yang mereka lihat
dalam layar. Dalam praktiknya, hal ini menempatkan laki-laki sebagai pihak yang
aktif dan perempuan sebagai objek yang pasif.
Selain scopophilia, terdapat perilaku penonton
yang lain, yaitu narcisstic identification. Narcisstic identification
adalah penonton yang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh utama laki-laki
yang ada dalam scene. Dengan pengidentifikasian tersebut, penonton laki-laki
seolah-olah mendapatkan kendali penuh atas pemeran perempuan dan aksi yang
terdapat pada film. Penonton laki-laki dapat memuaskan egonya untuk berkuasa
dan merasa sebagai pemegang kendali atas apa yang dilihat oleh tokoh utama
laki-laki dalam layar. Laki-laki, sebagai figur yang aktif, membutuhkan
perilaku narcisstic identification untuk mengontrol fantasi-fantasi
mereka atas perempuan yang pada akhirnya akan dipuaskan oleh film yang mereka
nikmati.
Mulvey menambahkan
dalam tulisannya, sejak zaman sinema klasik Hollywood, perempuan hanyalah berfungsi
sebagai ikon. Perempuan adalah objek erotik untuk laki-laki, baik untuk
karakter laki-laki dalam film maupun untuk penonton laki-laki sebagai penikmat
film. Hanya tokoh laki-laki dalam film dan penonton laki-laki yang dapat
menempatkan diri sebagai subjek yang aktif. Laki-laki, baik aktor maupun
penonton, hadir untuk mengeksplorasi objek. Sinema klasik Hollywood berfungsi
untuk mengangkat ego laki-laki dan menekan hasrat alami perempuan. Perempuan
tidak akan pernah menjadi sebuah subjek. Perempuan dilarang untuk memiliki
hasrat pada objek, atau lebih tepatnya, dilarang menjadikan laki-laki sebagai
objek mereka. Laki-laki dalam film merupakan representasi atas kekuasaan itu
sendiri.
Intervensi
posfeminis ke dalam arena teori media dan film merupakan hasil pertumbuhan dan
perkembangan keterlibatan feminisme, baik di dalam wacana film. Feminis telah
lama bertemu dalam perkembangan praktik feminis di dalam area produksi dan
kesarjanaan film. Dalam prosesnya, mereka telah memeriksa bahasa film dengan pandangan
untuk mendemistifikasi berbagai asumsi tentang beroperasinya kebanyakan teori
media dan film. Intervensi feminisme gelombang kedua mencoba untuk menelaah
cara di mana ideologi patriarki dan formasi sosial masyarakat patriarkal
dipelihara melalui wacana media dan film. Para teoritikus dan praktisi feminis
telah lama tertarik pada ketegangan antara sinema Hollywood klasik dan sinema
independen; dalam persimpangan perdebatan di dalam area feminisme dan teori
psikoanalis, dan di dalam potensinya untuk menantang wacana tradisional yang
dominan di dalam area teks film dan kepenontonan film, khususnya dalam konteks
menonton kenikmatan dan ‘melawan’ kenikmatan. Kemunculan kesarjanaan feminis
mengenai teori media dan film telah menantang kanon dan cara produksi film
tradisional. Selanjutnya, persimpangan feminisme dengan poskolonialisme dan
antirasisme telah melontarkan tantangan terhadap penggunaan model-model dari
teori psikoanalisis oleh feminisme dan juga terhadap analisis arus utama atas
teks-teks kebudayaan pop, dan telah membangun keragaman suara dalam kritik dan
praktik film feminis.
Teori Psikoanilisis dan
Teori film Feminim.
Kebangkitan
kritik film feminis pada 1960-an dan 1970-an telah dihadapkan dengan kritik
realisme Marxis dan dengan perkembangan dalam teori film seperti semiologi dan
psikoanalisis. Kritik film feminis bergesar dalam penekanannya dari penekanan
sosiologis yang lebih awal pada ‘isi’ kepada penekanan pada produksi makna, di
mana titik berat diletakan pada proses interaksi antara psikoanalisis dan
sinema. Mulvey (1993) mencatat bahwa politik feminis, seperti kebangkitannya
pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, memainkan bagian penting dalam meletakkan
Freud pada agenda politik, bersama-sama dengan Marx. Sebagaimana dia mencatat ,
‘Di dalam polemik ini, pengaruh Brecht bertemu dengan psikoanalisis dan
semiotika modernis’ (Mulvey, 1993:3).
Mulvey
mencatat bahwa semiotika dan teori psikoanalisis sangat penting dalam
pembebasan konseptual estetika feminis, dengan memperkenalkan konsep yang menyoroti
jurang pemisah antara citra dan objek yang mereka klaim untuk
merepresentasikan, dengan demikian membangun kecairan dan ketidakstabilan makna
di dalam representasi. Mulvey mengklaim implikasi teoritis dari pertemuan
feminisme dengan semiotika dan teori psikoanalisis melangkah lebih jauh
daripada hal ini, ‘tidak hanya meretas kesenjangan di dalam penandaan, namun
juga menawarkan suatu teori yang mampu menguraikan bahasa pemindahan yang
memisahkan penanda yang ada dari petandanya yang nyata’ (ibid).
Dalam
apa yang sekarang dipandang sebagai kontribusi klasik pada analisis teori
psikoanalisis di dalam teori film feminis, karya Laura Mulvey (1981, 1989, 1992
[1975], 1993) dan Mary Ann Doane (1982, 1987, 1991) keduanya telah mengambil
konsep dan kerangka referensi psikoanalisis untuk menjelajahi relevansi mereka
bagi teori film feminis.
Laura Muvley dan Sinema
Naratif Klasik
Artikel
Mulvey yang kemungkinan kini akan berkembang, Visual Pleasure and Narrative Cinema (1975), mengulas sinema
naratif klasik (film realis), yang dia pahami seperti yang ditunjukkan oleh
sinema Hollywood. Mulvey (1989:14) mengkritik sinema naratif klasik sebagai
ekspresi dari ‘cara ketaksadaran masyarakat patriarkal telah menstrukturkan bentuk
film’. Dia mengajukan demistifikasi terhadap asumsi sinema naratif klasik dan
menyimpulkan bahwa tujuan dari sinema feminis, dan kiranya teori film feminis,
adalah untuk menghacurkan bentuk-bentuk kenikmatan yang diasosiasikan dengan
sinema Hollywood klasik. Salah satu elemen kunci dari artikel Mulvey adalah
cara ‘kenikmatan’ dikontruksi oleh sinema arus utama (Hollywood) dan pentingnya
kenikmatan yang demikian bagi penonton yang berbeda.
Mulvey
berusaha untuk membangun arti penting psikoanalisis bagi analisis film, di
dalam teori film secara umum, namun lebih khusus lagi di dalam analisis film
feminis. Dalam mengambil dari psikoanalisis, Mulvey bermaksud untuk menunjukkan
bagaimana kenikmatan filmis memperkuat pola-pola subjektivitas dan formasi
sosial yang sudah ada di dalam subjek individual dan masyarakat. Dia berusaha
untuk membuat bagaimana film mereflesikan dan mengkultivasi interpretasi
tentang perbedaan seksual yang sudah ‘dinormalisasi’ dan yang mengontrol
representasi serta ‘cara pandang erotis’. Mulvey jelas memandang psikoanalisis
sebagai senjata politis yang berguna bagi feminisme, yang menurutnya dapat
mendemonstrasikan dan memunculkan ‘ketaksadaran masyarakat patriarkal’ ke
permukaan. Penggunaan ‘patriarki’ dan ‘phallosentrisme’ oleh Mulvey merupakan
ciri khas dari penulis pra posfeminis, dan kedua istilah tersebut digunakan
tanpa problematik.
Bagi
Mulvey, dari perspektif phallosentris, citra dominan adalah tentang ‘perempuan
yang dikebiri’. Seperti komentarnya, ‘Suatu gagasan tentang perempuan berdiri
sebagai pasak (linchpin) pada system:
adalah kekurangannya yang membuat phallus sebagai kehadiran simbolik, adalah
hasratnya untuk menutupi kekurangan tersebut yang ditandakan phallus’ (Mulvey,
1992:158). Seperti yang ditunjukkan Mulvey, model ini membuat hasrat perempuan
sebagai tertaklukan pada citranya, misalnya seseorang yang ‘dikebiri’ dan apa
yang tidak mampu dia (perempuan) tegakkan. Mulvey (1992:159) mencatat bahwa, di
dalam budaya patriarkal, perempuan berdiri ‘sebagai penanda untuuk ikatan
lainnya laki-laki dengan tatanan simbolik, yang di dalamnya laki-laki dapat
menghidupkan fantasi dan obsesinya melalui perintah linguistik dengan
membebankan pada citra bisu perempuan yang masih terikat pada tempatnya sebagai
pembawa, bukan sebagai makna’. Isu diferensiasi di dalam konsep ‘perempuan’
bukanlah pokok persoalan bagi Mulvey, dan dia bekerja di dalam model ‘oposisi
biner’ sederhana. Hal ini terlihat di dalam penggunaan konsep ‘penindasan’ yang
tanpa problematik bagi Mulvey dan penggunaan psikoanalisis yang ‘menghadapkan
kita dengan tantangan terbesar, bagaimana melawan ketidaksadaran yang
terstruktur seperti bahasa… ketika masih terkungkung di dalam bahasa
patriarki?’ (ibid).
Mulvey
menunjukkan bagaimana psikoanalisis dan konsep ketidaksadaran dapat digunakan
untuk menteorikan konsep ‘kenikmatan’ dan ‘pandangan’. Dia mencatat: ‘Sebagai
sistem representasi yang telah maju, sinema mengajukan pertanyaan tentang cara
ketidaksadaran (dibentuk oleh tatanan dominan) menstrukturkan cara melihat dan kenikmatan
dalam memandang’ (Mulvey, 1992:159). Sistem representasi ini mencapai
perwujudannya yang sempurna (apotheosis)
di dalam film Hollywood. Seperti komentar Mulvey (1992:160), ‘Film arus utama
mengkodekan erotika dalam bahasa tatanan patriarkal dominan’. Tujuan analisis
Mulvey tidak hanya ‘untuk menantang bentuk-bentuk dominan dan kenikmatan erotik
yang memiliki perempuan di pusatnya, namun untuk menegasikan hubungan antara
kenikmatan dan film fiksi naratif dalam rangka menyusun suatu bahasa baru tentang
hasrat’ (ibid).
Mengambil
dari psikoanalisis Freudian dan Lacanian, Mulvey menelaah kenikmatan yang
ditawarkan oleh sinema Hollywood klasik kepada penonton. Dia menggunakan konsep
‘scopophilia’ dan ‘narsisisme’ sebagai mekanisme yang melaluinya kenikmatan
ditelaah. Di dalam teori psikoanalisis, ‘scopophilia’ didefinisikan sebagai
dorongan seksual mendasar pada manusia untuk melihat pada manusia lainnya di
dalam cara yang sedemikian rupa sehingga proses memandang merangsang stimulasi
seksual dan mengobjektifikasi orang yang dilihat. Seperti komentar van Zoonen
(1994:89), perasaan gairah dan pemuasan yang dihasilkan tidaklah berhubungan
langsung dengan zona erotogenik. Scopophilia lebih jauh dapat dipisahkan ke
dalam fetisisme dan voyeurisme (hal ini akan dieksplorasi lebih lengkap di
bawah). Konsep kedua adalah narsisme, yang Mulvey deskripsikan sebagai suatu
proses identifikasi dengan citra di atas layar.
Mulvey mengembangkan
konsep voyeurisme di seputar persoalan cara sinema distrukturkan. Kaplan
menyatakan bahwa voyeurisme ‘dihubungkan dengan insting scopophilis (misalnya,
kenikmatan laki-laki pada organ
seksualnya sendiri ditransferkan melalui kenikmatan dalam melihat orang lain
melakukan hubungan seks)’ (Kaplan, 1983:30). Mulvey menyatakan bahwa scopophilia,
kenikmatan dalam melihat, adalah salah satu dari sejumlah kemungkinan
kenikmatan yang ditawarkan oleh sinema. Sebagaimana dia (1992:160) tunjukkan,
‘terdapat situasi di mana melihat diri sendiri adalah sumber kenikmatan,
seperti juga…terdapat kenikmatan itu sendiri ketika dipandang….’ Mulvey merujuk
pada scopophilia sebagaimana digunakan di dalam Three Essays on Sexuality karya Freud, ‘di mana dia mengasosiasikan
scopophilia dengan membawa orang lain sebagai objek menundukkan mereka pada
suatu pandangan mengontrol dan ingin tahu’. Di samping perkembangan lebih jauh
dari konsep scopophilia di dalam karya Freud berikutnya, Mulvey berpendapat
bahwa hal tersebut terus eksis sebagai dasar erotik bagi kenikmatan dalam
memandang orang lain sebagai objek. Dia selanjutnya mencatat bahwa, ‘pada titik
ekstrem, hal tersebut bisa difiksasikan ke dalam perbuatan yang tidak wajar,
memproduksi voyeur dan pengintip yang obsesif yang kepuasan seksualnya hanya
bisa muncul dari melihat dalam pengertian pengontrolan yang aktif, suatu
objektifikasi terhadap yang lain’ (Mulvey, 1992:161). Mulvey menunjukkan bahwa
‘pengalaman’ sinematik (kontras antara kegelapan dan auditorium dan perpindahan
pola cahaya dan bayangan) menyajikan untuk menambah dan mempertinggi ‘ilusi
pemisahan voyeuristik’. Seperti yang dia catat, situasi dan kondisi yang
dialami di dalam situasi ilusif di mana hal tersebut tampak seperti mereka
sedang singgah di dunia yang privat.
Citra
Perempuan Dalam Film Menurut Laura muvley
Mulvey
mengkritisi bahwa keberadaan tokoh perempuan dalam film bukanlah
sebagai pencipta
makna, melainkan hanyalah pembawa makna. Mulvey menambahkan dalam tulisannya, sejak zaman
sinema klasik Hollywood, perempuan hanyalah berfungsi sebagai ikon. Perempuan
adalah objek erotik untuk laki-laki, baik untuk karakter laki-laki dalam film
maupun untuk penonton laki-laki sebagai penikmat film
–Sinema klasik Hollywood berfungsi untuk mengangkat
ego laki-laki dan menekan hasrat alami perempuan. Perempuan tidak akan pernah
menjadi sebuah subjek.
Perempuan
dilarang untuk memiliki hasrat pada objek, atau lebih tepatnya,dilarang
menjadikan laki-laki sebagai objek mereka. Laki-laki dalam film
merupakan representasi atas kekuasaan itu sendiri.
Perempuan
yang bertindak sebagai pengamat (khalayak) cenderung melakukan tatapannya
sebagai si pemeran perempuan yang sedang diperiksa dan atau perempuan yang
sedang dimandikan itu (sudut protagonis). Kultus terhadap bintang/pemeran
perempuan dalam membangun konsep berpikir suatu bentuk tubuh yang indah (objek
fisik) yang ditransformasikan kepada dirinya (fetishistic schopophilia). Dan,
Mulvey mengindikasikan perempuan ini adalah pasif. Karena hanya dijadikan bahan
mentah objek tatapan.
Berbeda
dengan pandangan laki-laki, momen tatapan ini mengikat imajinasinya yang
berhasrat untuk menikmati. Hasrat ini terlahir dari akibat bentuk kepuasan
erotik dan seksual laki-laki. Hal ini dikatakan sebagai tindakan aktif, karena
perempuan sebagai objek seksual semata, “to be looked-at image”.
Implikasi
dari active/looking dan passive/looked-at menunjukkan kesenjangan dari
perbedaan pandangan seksual antara laki-laki dan perempuan. Adanya kuasa
simbolik laki-laki yang mendomiasi sebuah alur cerita dan gerak kamera pada
gambar film.
Mulvey sendiri memberikan penyelamatan terhadap kesenangan dan proses pengebirian (castration) pada tahapan penyelidikan mendetail terhadap momen trauma orisinal. Seperti suatu tuduhan, steriotipe, penghukuman atau penyelamatan terhadap objek yang bersalah. Pengingkaran terhadap pengebirian melalui substitusi objek pemujaan bisa dilakukan dengan memutuskan hubungan dengan ilusionisme, yang mematerialkan kamera, dan berproduksi dalam ‘dialektika’ khalayak. Perempuan yang dicitrakan dan digunakan sebagai objek secara terus menerus adalah bagian dari sikap kritik Mulvey terhadap kemunduran bentuk film tradisional.
Mulvey sendiri memberikan penyelamatan terhadap kesenangan dan proses pengebirian (castration) pada tahapan penyelidikan mendetail terhadap momen trauma orisinal. Seperti suatu tuduhan, steriotipe, penghukuman atau penyelamatan terhadap objek yang bersalah. Pengingkaran terhadap pengebirian melalui substitusi objek pemujaan bisa dilakukan dengan memutuskan hubungan dengan ilusionisme, yang mematerialkan kamera, dan berproduksi dalam ‘dialektika’ khalayak. Perempuan yang dicitrakan dan digunakan sebagai objek secara terus menerus adalah bagian dari sikap kritik Mulvey terhadap kemunduran bentuk film tradisional.
Laura
Mulvey beranggapan bahwa terdapatketidakseimbangan antara yang menonton dengan
yang ditonton. Pada era film-filmHollywood klasik, mau tak mau penonton
ditempatkan pada posisi subjek yang maskulin,dengan sosok wanita di layar
adalah objek dari nafsu/gairah. Dalam film male gaze terjadisaat semua penonton diposisikan sebagai
laki-laki yang heteroseksual. Permasalahan yangmuncul di sini adalah ketika
penonton itu adalah wanita, maka mereka seakan dipaksa untuk dapat
mengubah sudut pandang mereka mengikuti sudut pandang laki-laki dalam
melihatwanita. Sebagai contoh gampang dalam hal ini adalah penonton diarahkan
untuk dapatmengenali tokoh protagonis yang selalu bergender laki-laki.
Sudut Pandang Kelompok Terhadap Pemikiran Laura Muvley
Gender
perempuan pada film (mengenai objek dan subjek, kaitannya dengan perempuan)
terkait dengan nilai ideal dan nilai komersial.
Nilai ideal (
nilai yang menampilkan perempuan secara utuh dan murni untuk kepentingan
estetika film dan untuk kepentingan edukasi, apresiasi tanpa
unsur eksploitasi wanita
Nilai komersial (nilai yangg berhubungan dengan selling point film itu sendiri). faktanya perempuan sering dijadikan objek jika mengacu pada teori Laura.Muvley
Pandangan Apresiator Dari Berbagai Kalangan
Perempuan lam
konteks estetika film dsebagai daya
tarik visual (laki-laki maupun perempuan). Kedudukan Perempuan tidak hanya sebagai objek (sebagian
perempuan tidak merasa sebagai objek dalam film).
Pandangan perempuan terhadap film
Perempuan
cenderung ingin menampilkan keindahan
Perempuan lebih
senang melihat sisi keindahan perempuan dibandingkan dengan laki-laki
Sosok perempuan
secara visual lebih menarik bagi kedua gender
Teks dan
Konteks film
Penghancuran
struktur film menurut Laura.Muvley,
dalam
hal ini tentang Eksposisi
(perkenalan),Komplikasi
(insiden permulaan), Rising action / konflik (penanjakan laku),Klimaks/ Krisis ( titik balik : Turning point),
Penyelesaian ( penurunan laku ; falling action)
dan Keputusan (Kastafora : Resolusi),
dinilai tidak relevan, apabila yang
menjadi isu sentral bahasannyan
pendekatan wanita sebagai objek dalam sebuah film. Mungkin yang dimaksud oleh Laura
Muvley, adalah teknis pengambilan visual terhadap wanita dalam film
Kesimpulan
Pandangan atau pemikiran Laura Muvley mengenai perempuan hanya sebagai objek dalam film
menurut pendapat kami tidak sepenuhnya sesuai dengan realitas / sudut pandang
masyarakat (perempuan dan laki-laki) terhadap film
Sumber:
·
Ann Brook, Postfeminimisme & Cultural Studies,
Jalasutra, Yogyakarta, 2011
·
Mulvey, L (1975)
‘Visual Plesuare and Narrative Cinema,’ Screen
16(3) (Musim Semi), hlmn 6-18
·
Mulvey, L (1981)
‘Afterthough on ‘Visual Pleasure and Narrative Cinema’ Inspired by Duel in The Sun (King Vidor, 1946), ‘Framework 15-17, hlmn. 12-15
·
Mulvey, L (1991) ‘Xala and Fetishism, ‘kuliah yang tidak
diterbitkan, Humanities Institute, Stony Brook, New York, Maret.
·
Mulvey, L (1992) ‘From
‘Visual Pleasure and Narrative Cinema ‘’ (1975), dalam A. Easthope dan K.
McGown (ed) A Critical and Cultural
Theory Reader, NSW: Allen & Unwin.
·
Mulvey, L (1993) ‘Some
Thoughts on Theories of Fietishism in The Context of Contemporary Culture,’
dalam October 65 (Musim Panas), hlmn.
65-77