Jumat, 29 Oktober 2010

_Deru Pesawat Terbang_

Pernahkah kalian naik angkot, lantas tiba-tiba dgn senang hati sopir angkotnya bilang, "nggak usah bayar, dik. gratis hari ini?"

Pernahkah kalian pergi ke kantor kades, lurah, ngurus KTP, lantas petugasnya sambil tersenyum bilang, "tunggu sebentar ya, 1 jam lagi KTP-nya pasti jadi." lantas sang petugas semangat betul mengurusnya, kesana-kemari, jadi, ketika mau diambil, mau ngasih uang lebih karena ihklas, si petugas sambil nyengir bilang, "maaf, tdk usah mbak, sudah kewajiban kami, kok."

Pernahkah kalian ditilang polisi, lantas pak polisi hanya menepuk bahu, tersenyum, "besok jgn lupa helm-nya ya mas, ayo, silahkan jalan lagi."

Pernahkah kalian bertemu dokter, berobat,diterima dgn senyum, dijelaskan dgn rinci, bahkan dia pandai sekali memberi tips agar sakit tak terulang, saat hendak membayar, "ini no hp saya ya, besok lusa kalau ada keluhan, nggak usah datang, sms atau telpon saja. kan repot jauh2 datang."

Pernahkah kalian punya teman yg mau berbagi apa saja, punya tetangga yg baik dan suka mengirim makanan? pernahkah...



Kemanakah pendidikan akhlak itu, yg tersisa hari ini adalah: sopir angkot galak mengejar setoran, petugas yg jangankan berpikir mengabdi, dokter dgn kepedulian terbatas, polisi yg lbh sering menyusahkan dibandingkan mengayomi, kawan yang sering mengajak kesia2an, tetangga yg kotor dan dengki hatinya..



Kemanakah akhlak mulia itu... maka jangan tanya pemimpin2 kita, jangan tanya org2 yg punya kekuasaan, acara2 di televisi, glamour orang menengah ke atas..



Di hari jum'at yg mulia ini, mari kita meneguhkan hati, merapatkan barisan, kesempatan itu tetap ada, ketika generasi baru terlahirkan dgn akhlak cemerlang bagai mutiara... mari kita serbu rumah2 mereka, kamar2 mereka, ruang makan, ruang tamu... dengan buku2, buku2 yg dibaca oleh anak2 mereka... maka ketika sekitar begitu rusaknya memberi teladan, smoga dgn buku2 yg baik mereka terinspirasi sebuah kebaikan... sesuatu yg disebut akhlak mulia!



Seperti deru pesawat terbang, membuat bergetar kolam tenang 30.000 kaki di bawahnya, membuat bergetar jendela2 rumah, begitulahkebaikan... membuat bergetar hati2 kita.

Jumat, 15 Oktober 2010

_Air Mata Surti_


Tidak seorang pun yang ingin jadi penduduk kelas bawah, termasuk Agus dan Surti. Alur kehidupan yang dijalani keduanya memuarakan mereka sebagai pasangan suami istri dengan seorang anak, berprofesi sebagai buruh pabrik sepatu, tinggal di kamar ukuran tiga kali tiga meter, penghasilan hanya cukup untuk makan.

Surti telah dua kali melahirkan. Kesehatan anak keduanya bermasalah. Sejak lahir, setiap habis menangis tubuh mungilnya membiru. Surti membawa bayinya ke Puskesmas. Dokter mengatakan kemungkinan besar si bungsu sakit jantung. Ia dirujuk ke rumah sakit Cipto.

"Oalah Nak, hidup kita susah begini, kok ngambil penyakit orang kaya," Surti bergumam sambil mencium pipi biru anaknya. Air matanya menetes saat menerima surat rujukan dari dokter Puskesmas.

Sebagai ibu, Surti ikhlas berhenti bekerja dan membawa anaknya berobat ke Cipto. Tapi, mereka terbentur biaya. Meskipun kartu miskin bisa diurus tetap saja ada yang harus dibayar. Dari rumahnya ke Cipto tiga kali naik angkutan umum. Pulang pergi enam kali ongkos. Dari mana uangnya? Upah Agus hanya cukup untuk bayar sewa kamar dan beli beras. Selama ini, upah Surti untuk beli lauk-pauk dan biaya lainnya. Tidak ada jalan keluar. Si Bungsu gagal berobat ke rumah sakit besar.

Tidak sanggup hidup berat di dunia, bayi merah Surti balik kepada Sang Khalik. Pasangan itu tergoncang. Mereka merasa bersalah. Terutama Surti. Hatinya perih dan pedih. Ia terluka.

Hidup Surti dan Agus terus mengalir. Seiring dengan berjalannya waktu, luka jiwa Surti berangsur sembuh. Meski, sakitnya masih terasa. Dalam keadaan batin belum stabil tersebut, badai kembali menghantam mereka. Krismon melanda negeri pertiwi, sehingga mempengaruhi kehidupan berbagai kalangan. Agus dan Surti turut jadi korban. Pabrik tempat Surti dan Agus bekerja bankrut.

Setiap hari, Agus, Surti, dan teman-temannya tetap datang ke pabrik. Mereka bergerombol dan mengobrol. Tidak ada pekerjaan lagi. Ketika sebuah koran memberitakan bahwa pemilik pabrik tempat mereka bekerja kabur ke luar negeri, semua karyawan dan buruh tersentak. Mereka merasa kecolongan. Secara spontan mereka berdemo di depan pabrik.

Namun, beberapa hari berdemo, tidak seorang pun petinggi pabrik yang menghampiri para karyawan. Mereka raib tak berbekas. Hanya wartawan yang memotret dan mewawancarai pendemo. Karena itu, Agus dan teman-temannya memutuskan berdemo di halaman kantor Depnaker. Mereka menuntut pemerintah memaksa pemilik pabrik bertanggung jawab terhadap nasib karyawannya.

Surti putus asa. Hari-harinya dan Agus habis untuk berdemo. TV 14 inci, satu-satunya hiburan Si Sulung, telah terjual. Surti sangat ketakutan membayangkan ia dan Agus tidak punya uang sama sekali. Ia tak mampu membeli nasi saat si Sulung lapar. Si Sulung akan lapar berhari-hari dan meninggal, seperti Si Bungsu. Tubuh Surti menggigil. Sebagai ibu, ia merasa tidak berguna lagi.

Diambilnya pisau. Lama diperhatikannya sisi mata pisau yang tajam. Surti melihat Si Bungsu di sana. Ia sehat dan montok. Di punggungnya tiba-tiba tumbuh sayap. Sambil terbang kian ke mari, Si Bungsu memanggil-manggil Surti. Ia mengajak Surti bermain-main di taman bunga yang indah. Surti ingin bergabung dengan Si Bungsu. Gagang pisau dipegangnya erat. Ia siap melayang.

"Mama mau potong apa?" tanya Si Sulung polos. Surti terperanjat. Si Sulung menyadarkannya kembali ke alam nyata. Buru-buru Surti meletakkan pisau. Dipeluknya Si Sulung dengan penuh haru. Si Sulung telah menyelamatkan jiwanya. Hampir saja ia menjadi pengikut setan, setan jahat yang mewujud Si Bungsu untuk menggodanya.

"Maafkan Mama, Nak. Mama tak akan meninggalkanmu. Mama akan cari uang. Kamu tidak boleh busung lapar," Surti berjanji. "Tuhan, ampuni hamba," mohonnya tulus. "Stop berdemo. Uang kita hanya cukup untuk bertahan seminggu, Bang," kata Surti pada Agus.

"Tidak! Abang dan teman-teman ingin kerja lagi atau dapat pesangon. Masa kerja kita telah belasan tahun, jadi pantas dapat pesangon," Agus bersikukuh. "Untuk makan sehari-hari, Sur, ngutanglah dulu di warung. Kalau pesangon telah keluar, semua kita bayar," Agus tetap kukuh pada pendiriannya.

Semalaman Surti tidak bisa tidur. Ia ingin berjualan. Tapi, tidak punya modal. Surti memeras otaknya, agar dapat ide, bagaimana caranya, bisa menghasilkan uang. Tiba-tiba, Surti ingat Ipan, pengasong koran di pabrik. Sejumput harapan singgah di kepala Surti. Surti pernah mengobrol panjang lebar dengan Ipan. Dari Ipan, Surti tahu untuk berdagang koran tidak perlu modal. Yang penting mendapat kepercayaan dari agen. Kalau sudah dipercaya, ambil koran pagi, langsung dijual. Besok paginya, ke agen lagi mengambil koran yang terbit hari itu dan membayar koran yang dibawa kemarin.

"Aku akan dagang koran," Surti memutuskan. Bibirnya tersenyum. Puas. Tapi sayang, sejak pabrik tutup Surti tidak pernah lagi bertemu Ipan. Maka ia mencari sendiri alamat agen koran. Dengan bertanya ke sana ke mari akhirnya ia berhasil menemukan rumah sang agen. Syukurlah, si agen bersedia mengutangi Surti. Ia menyarankan Surti berjualan di tempat yang ramai. Saat itu juga terbayang di pikiran Surti perempatan jalan dekat pabriknya. Siang malam perempatan itu selalu ramai.

Sore itu Surti pulang dengan tubuh dekil dan keringat di jidat. Ternyata, berdagang koran juga berat. Dini hari, ketika orang lain masih berselimut, ia harus berangkat ke bursa koran, menembus dinginnya cuaca. Begitu mendapat koran, langsung dibawanya ke tempat mangkal. Seharian menunggu pembeli, panas terik membakar kulit, setiap detik menghirup debu jalanan. Namun, Surti puas. Hari pertama ia jualan, korannya laris manis. Lima korannya bersisa, tapi bisa dikembalikan ke agen. Surti tidak menanggung rugi.

Malamnya, Surti mengibaskan dua lembar uang sepuluh ribuan pada Agus. "Bang Gus, ini untung Sur hari ini. Banyak ya, Bang," wajahnya sumbringah. "Kalau kita gerobak koran yang ada rak-raknya, kita bisa dagang majalah juga. Pasti labanya lebih gede lagi. Sekarang Sur hanya bisa mengasong koran dan tabloid," Surti menerangkan. "Tapi, kalau dagang majalah, harus kita beli kontan. Agen tidak kuat memodalinya."

Agus tidak bereaksi. Ia terlihat bengong. Jauh di lubuk hatinya, ia malu pada Surti. Untuk mengimbangi usaha Surti mencari uang, Agus berjanji dalam hatinya akan menggantikan tugas harian Surti, memasak dan merapikan rumah, serta menjaga Si Sulung. Jika ia berdemo, Si Sulung akan dibawanya.

Hampir setengah tahun Agus dan teman-temannya menghabiskan waktu menuntut haknya. Atas izin Tuhan, keluar juga pesangon yang didambakan Agus. Tapi jumlahnya sedikit. Itu pun ditalangi pemerintah. Uangnya hanya cukup untuk membuat gerobak koran dan modal membeli majalah. Agus kecewa. Ia berharap, uang pesangonnya jauh lebih besar. Sebab yang di-PHK hanya dua orang, yaitu dirinya dan Surti. Surti menghiburnya. Dibujuknya Agus agar pasrah pada Tuhan. Ia juga mengajak Agus berjualan koran.

Siang itu Surti bersama Agus, dan Si Sulung, menunggui gerobak koran. Mereka baru saja memakan nasi bungkus yang dibeli di Warteg. Sejak berjualan majalah dan punya gerobak, pembeli tambah banyak. Dagangan mereka terlihat semarak.

Tapi tiba-tiba, ketika mereka melayani pembeli, tiga mobil loosback berhenti di depan dagangan Surti. Puluhan petugas trantib melompat turun. Petugas menyuruh Surti dan Agus keluar gerobak. Selanjutnya, mereka beramai-ramai mengangkat gerobak Surti ke atas mobil. Koran, tabloid, dan majalah, ikut mereka bawa. Sebagian bahkan berserakan, terinjak kaki petugas.

Agus dan Surti terkesima. Ketika Surti melihat dagangannya terinjak-terinjak, hatinya mendidih. Bagaikan singa betina terluka Surti mengamuk. Diberikannya si sulung kepada Agus. Dengan membabi buta Surti menarik, menjambak, dan memukul seorang petugas. Ia berteriak-teriak histeris. Agus dengan sebelah tangannya menggendong Si Sulung berusaha merangkul Surti. Tapi, tenaga Surti telah berlipat ganda. Ia berontak dari rangkulan Agus.

Seorang petugas memegang kedua tangan Surti. Surti kesal, diludahinya petugas itu. Tersinggung diludahi, tangan besar sang petugas menampar pipi Surti. Melihat istrinya ditampar, Agus kehilangan kendali. Diambilnya sebuah batu di tanah dan dipukulkannya ke kepala petugas. Kepala petugas itu bocor. Darah mengucur deras.

Agus dan Surti diringkus petugas yang lain. Sebelum dibawa ke kantor polisi, petugas yang marah, karena temannya terluka, menghajar Agus. Tubuh Agus babak belur. Ia pingsan. Surti mati rasa. Pikirannya kosong. Si sulung menghilang. Seorang penculik anak, menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Surti dan Agus tidak bisa lagi memikirkan anak semata wayangnya itu.

Para petugas trantib pulang ke rumah. Bercengkerama dengan anak istri mereka. Tugas hari itu sudah dilaksanakan dengan baik. Jalan protokol telah bersih. Insentif dijamin dapat. Di balik senyum puas petugas trantib dan atasannya itu, terdengar tawa Surti bercampur tangisan pilu. Tangis yang mendayu, mengiringi lagu kehidupannya. Menyapa Agus yang linglung di penjara.

Otak Agus serasa mau pecah memikirkan keberadaan si Sulung. Mungkinkah Agus menyusul Surti ke rumah sakit gila? Aparat tak lagi peduli. Yang penting jalan bersih. Masyarakat nyaman. Tahun depan sang bakal penguasa terpilih lagi.

"Horas Indonesiaku! Horas penguasa! Aku Surti pendukungmu! Aku adalah sampah yang harus kau buang, Tra la la la la. Kau gus-sur, Tri li li li." Surti terus bernyanyi sepanjang waktu, diselingi seringai, tawa, tangisan, rintihan dan makian.

Kamis, 14 Oktober 2010

BisuL di kening Pak Ustadz

Sepulang dari syuting sebuah sinetron, ustadz Sobrak merenung di kamarnya. Ustadz memikirkan keningnya yang sudah sebulan menderita bisul. Akibat bisul di keningnya yang sebesar telur puyuh itu, Ustadz Sobrak tak lagi bisa bersujud mencium sajadah dengan benar. Dengan begitu, ustadz Sobrak merasa salatnya tidak sempurna.
"Sujud yang sempurna itu menempelkan kening di atas sajadah. Nah, ane? Udah sebulan ini nggak pernah sujud benar-benar menempelkan kening di atas sajadah," keluh ustadz Sobrak melalui HP kepada Zack, temannya yang jadi sutradara sinetron 'religius'.
"Sabar Ustadz. Ustadz kan pernah bilang, bahwa semua penyakit asalnya dari Tuhan. Dan nggak ada penyakit yang nggak bisa disembuhkan," jawab sang sutradara.
"Tapi Zack, ane bingung. Udah berobat ke mana-mana, tapi nggak sembuh-sembuh juga! Gimana ya Zack. Kayaknya ane perei syuting dulu deh." "Wah, gimana dong!? Usatdz kan udah tanda tangan kontrak?"
"Ane malu, Zack! Bisul ane ini udah nggak bisa ditutupin kopiah lagi! Kagak mungkin kan, ane lepas kopiah terus ngumpetin bisul di depan kamera." Di ujung HP, si sutradara tersenyum simpul, "Ya udah, kalo begitu Ustadz nggak usah ikut syuting dulu. Nanti saya akan lapor ke orang unit, untuk sementara ente diganti sama ustadz yang lain aja."
Akhirnya ustadz Sobrak benar-benar perei syuting. Habis mau bagaimana lagi. Seandainya beliau nekad datang, beliau tidak mungkin bisa menyembunyikan bisulnya di depan orang-orang. Ustadz akan bingung menjawab pertanyaan kru tentang keadaan keningnya yang tertutup rapat, bila ia benar-benar ke lokasi syuting, ustadz Sobrak pun memikirkan kemungkinan pertanyaan yang akan ditujukan padanya,
"Ustadz... kok tumben shalatnya nggak jamaah?"
"Ustadz, biasanya di-make-up sama penata rias, nggak make up sendirian kayak gini?"
"Ustadz, pecinya kok kayak ada batunya?"
Jelas saja ustadz Sobrak merasa risih bila nantinya mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Sebab, semua orang, selain Zack, si sutradara yang masih sahabatnya itu, memang tidak ada yang tahu bila di balik pecinya tumbuh bisul.
Di rumah, keluarganya juga belum tahu. Ayah dan ibunya, adik-adiknya, tidak tahu bila sang ustadz punya bisul di kening. Tapi sebentar lagi ustadz Sobrak akan berterus terang pada mereka. Itu pun kalau mereka mau bicara padanya. Sebab, sejak ustadz main sinetron berbungkus religius itu, keluarga ustadz agaknya menjauhi dirinya. Mereka mengaku tidak suka pada keputusan ustadz Sobrak turut main sinetron.
Ustadz Sobrak menerima main sinetron karena merasa mendapat panggilan jiwa. Ingin memberikan tontonan alternatif buat pemirsa televisi, yang dianggap cuma bisa menyuguhkan tayangan percintaan remaja dan cerita perebutan harta keluarga. Selain itu, bukankan para ustadz dan kiai terkemuka juga ikut ambil bagian di banyak sinetron bertema religius?
Keluarga ustadz Sobrak tidak mau menerima alasan yang disampaikannya. Menurut mereka, sinetron-sinetron bertema religius di televisi banyak yang menyesatkan. Termasuk yang dimainkan oleh ustadz Sobrak sendiri. Pak Haji Muntaha, orangtua ustadz Sobrak, memberikan contoh sisi buruk beberapa tayangan sinetron yang bertema religius itu,
"Coba, Sob, lu bayangin aja..., mana bisa seseorang yang sudah meninggal dunia bisa menjadi pengantin! Bukankah syarat menikah itu harus ada mempelai? Bukan mayitnya? Dan, mana bisa mayit bisa memberikan anak pada istrinya yang rela menikah dengan suaminya yang mayit itu! Sinetron apaan kayak gitu?!"
"Iya tuh, Beh!" kali ini Safira, adik sang ustadz, ikut berkomentar, "Coba deh bayangin aja. Kiai baca tasbih bisa meledakkan buaya? Orang sakit dipukul daun kelor terus wajahnya keluar bercak-bercak yang katanya susuk! Malaikat digambarkan berambut panjang dan sakti mandraguna!"
"Belum lagi mayat yang mental ke got! Mayat kebakar! Mayat dilangkahi kucing! Orang terjepit kuburan!" ibu ustazd Sobrak ikut komentar. "Itu kan peringatan bagi pemirsa tentang azab Allah, Pak, Bu...," sang ustadz membela diri.
"Apa hak kalian tentang azab! Bukankah soal azab itu urusan Allah? Bukan urusan manusia seperti kita? Dan bukankah Allah maha pengampun lagi maha penyayang?"
"Benar Pak, Bu, tapi...."
"Jangan-jangan kalian juga nantinya akan diazab karena memperlihatkan tontonan yang tidak benar! Yang banyak dibumbui tambahan dari fikiran kalian sendiri!" potong Haji Muntaha, sambil menghela nafas berat.
Ketika itu ustadz Sobrak menunduk. Tetapi bukan berarti ia berhenti ikut ambil bagian dalam sinetron yang sudah ia tandatangani kontraknya.
Mengingat semua itu, ustadz Sobrak mulai merasa khawatir soal bisul di keningnya. Mau mengaku pada keluarga, takut disangka mendapat azab Tuhan. Tidak mengadu, ia hanya bisa mengurung di kamarnya, karena malu memperlihatkan 'telur puyuhnya'.
"Kamu kok nggak shalat jamaah di masjid lagi, Sob?" disuatu waktu sang ibu bertanya pada ustadz Sobrak.
"Lagi nggak enak badan, Bu."
"Kenapa kamu nggak ke dokter?"
"Sudah. Tapi belum sembuh."
"Kamu sakit apa? Itu kening kamu kok dibungkus begitu?" ibu sang ustadz mendesak.
Ustadz Sobrak kebingungan. Apakah ia harus berbohong pada sang ibu? Lalu Ustadz membuka keningnya. Maka terlihatlah bisul itu! Ibu sang ustadz melongo.
Keluarga Ustadz Sobrak menjadi gempar setelah tahu bisul itu. Mereka menduga ustadz Sobrak mendapat azab Tuhan. Mereka menyarankan sang ustadz bertaubat. Berhenti bermain sinetron yang penuh kuburan itu. Dan beberapa pekan kemudian, ketika ustadz Sobrak tidak berangkat syuting, bisul dikeningnya kempis. Lenyap tak berbekas!
Keluarga ustadz Sobrak tentu saja senang.
"Alhamdulillah. Mungkin Allah mendengar doa-doa kita!" ujar Haji Muntaha dengan wajah berkaca-kaca.
"Tapi, Beh, ane masih punya hutang kontrak sama rumah produksi enam episod lagi. Ane diminta main lagi."
"Ente mau syuting lagi?"
"Seenggak-enggaknya sampai kontraknya habis, Beh."
Anggota keluarga lain cuma bisa menghela nafas berat mendengar pengakuan ustadz Sobrak.
Setelah syuting satu episode berikutnya, ternyata ustadz Sobrak mengundurkan diri dari sinetron yang kontraknya sudah ditandatangani itu. Produser dan sutradaranya resah. Mereka bingung pada keputusan ustadz Sobrak.
Namun, pada akhirnya, Zack, sutradara yang masih sahabatnya ustadz Sobrak, mau mengerti pada keputusan tersebut. Sebab, Zack sudah mendapat penjelasan langsung dari sang ustadz.
"Saya sudah mendengar keluhan ustadz Sobrak yang sesungguhnya, Pak," ujar Zack, pada sang produser yang tengah pusing.
"I nggak mau tau, Zack! Kalo ustadz Sobrak nggak mau main lagi, susah cari gantinya! You tahu sendirilah, gara-gara diganti pemain lain, rating sinetron kita merosot terus! Selain itu, ustadz Sobrak kan pintar improvisasi. Bahkan dia bisa menambah-nambah cerita dari cerita asli. Nah, sekarang, kalo dia mengundurkan diri, kita akan kerepotan. Belum lagi masalah kita soal bahan cerita. Kita sudah kehabisan stock cerita. Semua azab kubur sudah kita ambil. Semua azab durhaka kita sudah take. Sampai-sampai orang yang durhaka terhadap kucing, anjing.... Bagaimana dong, Zack?" "Tenang Pak Produser. Nanti saya akan usahain bujuk ustadz Sobrak. Tapi masalahnya, ustadz Sobrak sedang sakit."
"Sakit? Kan tempo hari you bilang udah sembuh. Sakit apa sih dia sekarang?"
"Biasa, Pak. Bisul."
Produser tersentak. Baru kemarin sore produser mendengar dari Zack bila kening ustadz Sobrak pernah bisulan. Dan sekarang?
"Bisul? Bukannya you bilang tempo hari ustadz sembuh dari bisulan?"
"Itu yang dikening, Pak. Sekarang yang dilutut! Bisulnya pindah ke lutut!"
"Ha ha ha!" tiba-tiba Pak Produser tertawa terbahak-bahak. Sang sutradara kebingungan.
"Kok, Bapak malah ketawa?"
"Ha ha ha! Tulis itu! Tulis! Kita bikin ceritanya. Ini kisah nyata! Benar-benar nyata! Dan jangan ditambah-tambah atau dikurangi!"
"Maksud Bapak?"
"Suruh penulis skenario bikin cerita tentang bisul di lutut Pak Ustadz!"
"Pak...!?" Zack bingung.
"Ayo cepat! Kita kan harus syuting besok!"
Sutradara hanya garuk-garuk kepala. Lalu ia menghubungi penulis skenario. Tapi ia salah pencet. Telponnya nyasar ke HP Ustadz Sobrak. Pada akhirnya sutradara terlanjur mengobrol dengan ustadz Sobrak. Ustadz mengeluh tentang bisulnya yang semakin parah. Sutaradara tersenyum dan bersorak dalam hati mendengar cerita ustadz Sobrak. Karena, dengan begitu, bahan cerita sinetronnya nanti akan terus bertambah!