Kamis, 13 Januari 2011

_Belajar Kesederhanaan Pada Sang Juara_

“ Coba tebak, hadiah apa yang aku minta?” tanya gadis kecil itu pada dua sahabatnya.

Seperti berlomba, keduanyapun berebut menebak hadiah apa yang diminta sahabat kentalnya itu.

“ Sepatu baru, tas, baju, boneka, sepeda, hp, blackberry, laptop?” tanya mereka bersemangat.

Setiap mereka menyebutkan, setiap itu pula si gadis menggelengkan kepalanya. Tak ada yang bisa menebak dengan benar, akhirnya merekapun menyerah.

“ Kalian menyerah? “ si gadis tersenyum menggoda.

“ Ya! “ jawab keduanya kompak.

Si gadis kecil tak langsung memberikan jawaban. Ia tahu bahwa kedua sahabatnya pasti akan kaget, bahkan menertawakannya. Tapi ia tak mau curang, apapun tanggapan mereka, ia akan mengatakan yang sebenarnya.

“ Aku minta dibelikan es kelapa “ jawab si gadis apa adanya.

Sesuai dugaan, tanpa dikomando kedua sahabatnyapun tertawa. Mereka sama sekali tak menyangka kalau sahabatnya yang sejak kelas satu selalu jadi juara, ternyata hanya minta dibelikan es kelapa sebagai hadiahnya. Bagi mereka ini bukan saja lucu, tapi juga aneh bahkan keterlaluan. Dalam hal memilih hadiah, rupanya si gadis tak secerdas ketika sedang menangkap pelajaran di sekolah, pikir mereka.

Cukup lama mereka tertawa terpingkal-pingkal. Setiap ingat es kelapa, setiap itu pula mereka tertawa. Begitupun si gadis, ia ikut tertawa ceria. Tak ada yang salah dengan permintaannya, meskipun itu kini membuat kedua sahabatnya tertawa.

Puas tertawa, kedua sahabat si gadis pun ganti bercerita. Masing-masing menceritakan hadiah apa yang mereka dapat dari kedua orang tuanya.

“ Aku dibelikan sepeda baru sama bapakku. Malah sebelum rapot dibagikan, aku sudah lebih dulu dibelikan sepeda. Kata mamaku, bapak sudah punya firasat kalau semester ini aku bakal masuk sepuluh besar “ cerita salah satu sahabatnya bangga. Dia tidak berbohong, tadi pagi waktu ambil raport di sekolah, si gadis memang melihat sahabatnya itu naik sepeda baru.

Sahabatnya yang satu lagi tak mau kalah. Dengan semangat, dia yang semester ini berada di peringkat tiga bercerita bahwa ibunya akan membelikan dia hp multimedia keluaran terbaru. Sebenarnya kalau ia bisa mendapat ranking dua, Blackberry akan menjadi miliknya. Bahkan seandainya ia bisa ranking satu, sang ibu berjanji akan menghadiahkan sepeda motor baru.

**

Lelaki itu tak jua bisa memejamkan matanya. Hampir satu jam dia berbaring, rasa kantuk belum juga datang, justru semakin menghilang. Percakapan si gadis bersama dua orang sahabatnya tadi siang memenuhi pikirannya, menyesakkan dadanya.

Apa yang dikatakan si gadis memang benar adanya. Es kelapa muda di kios ujung pasar, memang itu yang dia minta. Ia juga percaya bahwa kedua sahabat si gadis tidak mengada-ada. Ia pernah mendengar cerita salah satu teman kerjanya. Jika sang anak bisa masuk tiga besar, ia akan membelikan hp edisi terbaru sebagai hadiahnya. Bahkan salah satu kakaknya berjanji akan membelikan laptop jika sang anak bisa meraih peringkat pertama. Wajar saja, selain dianggap baik oleh mereka, juga mereka mampu untuk membeli semua itu.

Lelaki itu mengulang doa tidurnya. Ia berharap bisa segera tidur malam itu.Tapi untuk kesekian kalinya, lelaki itu gagal memejamkan matanya. Ia pandangi wajah lugu si gadis yang tertidur pulas di sampingnya. Dia betulkan guling yang terlepas dari pelukan buah hatinya. Dia rapihkan rambut yang menutupi wajah mungilnya. Sebuah rasa menyesaki rongga dadanya. Ia teringat seraut wajah yang mirip sekali dengan gadis kecil di hadapannya.

Biasanya, saat-saat bahagia seperti ini selalu mereka nikmati bertiga. Tapi kini hanya berdua, ia dan gadis kecilnya. Lelaki itu berusaha keras menghibur hatinya. Ia panjatkan doa untuk orang yang sangat dicintainya.

Lelaki itu pandangi wajah polos itu dalam-dalam. Banyak pelajaran yang ia dapatkan dari gadis kecilnya. Kesabaran, ketegaran, ketabahan, keikhlasan dan juga kesederhanaan. Kesederhanaan seorang juara. Kesederhanaan yang pernah ditunjukan oleh almarhumah, juara yang sesungguhnya. Tak pernah mengeluh menghadapi ujian, juga tak menjadi tinggi hati kala berprestasi.

Bagi anak seusianya, pada umumnya mendapatkan nilai terbaik adalah kesempatan emas untuk memperoleh apapun yang ia inginkan dari kedua orang tuanya. Tapi tidak dengannya. Ia tak meminta sepatu, tas atau baju baru. Juga bukan boneka, sepeda ataupun hp multimedia seperti yang diminta sahabatnya. Dia hanya minta dibelikan es kelapa, sesuatu yang bisa dia dapatkan kapanpun tanpa harus menunggu menjadi juara.

Lelaki itu tersenyum haru. Ada butiran hangat meleleh di ujung matanya. Dia tahu persis kesederhanaan gadis kecilnya. Bukan kali ini saja, berkali-kali ia belajar kesederhanaan padanya. Saat kenaikan kelas kemarin misalnya. Meski kembali menjadi juara, si gadis hanya minta dibelikan sepuluh buku tulis yang berisi 58 lembar. Ada beberapa mata pelajaran yang tak cukup lagi jika masih menggunakan buku yang lebih tipis, itu alasannya. Juga ketika ujian tengah semester beberapa waktu lalu. Meski dinyatakan sebagai siswa berprestasi terbaik, si gadis hanya minta dibelikan sebuah bingkai photo berukuran 10 R untuk memajang piagam yang diperolehnya.

Subhanallah, walhamdulillah!
Bibir lelaki itu bergetar. Tenggorokannya terasa sakit untuk mengucapkan tasbih dan tahmid secara jelas. Rasa haru, pilu, bahagia sekaligus bangga bercampur menjadi satu, memenuhi rongga dadanya. Serangkai doa dia panjatkan untuk gadis kecilnya. Juga untuk sesorang yang sangat dekat di hatinya.

“ Sayang, aku bangga padamu. Aku berterima kasih atas kesederhanaan yang kau contohkan padaku. Tetaplah kau menjadi kebangganku, kebanggaan almarhumah ibumu. Meski kita tak bisa melihatnya, di alam sana ibumu tersenyum bahagia dan bangga padamu…..”

Penuh kasih sayang, lelaki itu mencium kening si gadis kecil yang sedang terlelap. Wajahnya terlihat berseri, barangkali ia sedang bermimpi bertemu orang yang sangat ia rindukan. Lelaki itu berharap bisa mendapatkan mimpi yang sama. Sekali lagi ia ulangi doa tidurnya. Dia berbaring miring ke kanan. Dalam hatinya, dia berharap malam itu Allah berkenan menganugerahinya sebuah mimpi. Mimpi indah, seperti dulu ketika mereka masih utuh bersama.

Selasa, 04 Januari 2011

_Integral Garis Sholat_

Kita memang harus mentransformasikan nilai-nilai Islam pada diri kita masing masing, sehingga tatanan Islam dapat tumbuh dari aspek mikro, Integral dari keseluruhan nilai Islam yang tertanam dalam diri individu inilah yang akan membentuk sebuah bangunan Islam yang kokoh, karena ia dibangun dari bata-bata pilihan, disusun dengan runtun yang rapi dan saling melekat dengan semen yang sangat rekat.

Saya pernah membayangkan sholat sebagai sebuah integral garis dalam grafik kurva bola. Meminjam istilah dari ilmu kalkulus, bahwa lingkaran sempurna tersusun dari garis-garis lurus sangat pendek yang menyatu dalam sebuah instruksi yang sama dengan arah tegak lurus pada satu titik, maka jadilah lingkaran. Begitu pula bola. Ia tersusun dari bidang-bidang datar kecil yang pada kondisi mikro akan terlihat lurus datar, akhirnya secara integral kita akan melihatnya dalam bentuk yang bulat, melengkung = bola. Faktanya, kita melihat tanah yang kita pijak ini datar, padahal dalam ruang makro, integral dari keseluruhan tanah, kita melihat bumi yang bulat, seperti bola, bukan persegi atau balok.

Bagaimana sholat yang kita lakukan sehari-harinya adalah pula membuktikan teori grafik kurva bola. Sholat, dalam shaf-shaf yang lurus, adalah hanya merupakan sebuah garis lurus, dari jutaan garis lurus lain yang dibuat umat Islam dalam ibadahnya. Garis ini, tegak pada satu titik, ka’bah, pusat ditujunya arah shalat. Bisa anda bayangkan, sholat di seluruh penjuru bumi ini, dengan shaf-shaf yang rapi-lurus – karena memang demikian rasul mengajarkannya – akan membuat sebuah garis yang melingkar, mengelilingi bumi. integralkan dalam suatu variabel, akan ditemukan lingkaran yang berlapis-lapis, seperti garis kontur dalam sebuah peta buta. Lingkaran ini akan semakin terlihat saat jarak ka’bah dengan orang yang sholat semakin dekat, terbukti, kita sering melihatnya di foto-foto birdview ka’bah saat musim haji, yang bentuknya mirip dengan galaksi bimasakti. Melingkar, melengkung, bukan lurus seperti awalnya.

Lingkaran yang mengelilingi ka’bah ini tentu saja akan membuat sebuah kutub di mana seluruh manusia di penjuru dunia mengarahkan wajahnya saat sholat. Lingkaran-lingkaran manusia yang mengelilingi ka’bah juga tentu saja akan semakin lebar diameternya, dengan jarak yang semakin jauh dengan ka’bah. Namun, pada akhirnya garis ini akan kembali mengecil, karena bentuk bumi yang bulat. Dan pada akhirnya akan menuju satu titik, yaitu antikutub dari ka’bah, titik dimana jika kita tarik garis lurus yang menembus tanah di bawah ka’bah akan menemukan tanah lagi di ujung lain bumi. Percaya atau tidak, di tanah ini, arah sholat bisa menghadap ke mana saja, karena memang semua arah akan menghadap ka’bah. Saya merinding jika membayangkan kebenaran ayat-ayat alQur’an.


Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (al Baqarah : 115)

Itulah mengapa kita temukan rahasia di balik syariat sholat untuk kaum Muhammad adalah boleh di atas tanah sekalipun. Bahkan di atas kapal dan kendaraan tetap diwajibkan sholat. Saat berada dalam kondisi kehilangan arah, maka sholat bisa ke arah mana saja. Karena sholat ini menjaga bumi, memelihara bumi di tiap jengkalnya, menghindarkan kemaksiatan tegak meski di satu titik di kurva bola dunia. Tak diperkenankan tegaknya maksiat saat wilayah itu berdiri tegak para orang yang shalat,
Innassholaata tanhaa anil fahsyaai walmunkar…

Dan yang lebih luar biasa adalah shalat merupakan ibadah yang sustainable, tak pernah berhenti meski sedetikpun. Itu terbukti saat kita melihat shalat dalam sisi makro, integral dari seluruh shalat di dunia. Jika di suatu tempat telah usai shalat maghrib, maka di tempat lain shalat maghrib baru saja dimulai, dan di tempat lain shalat maghrib baru akan dimulai. Saat di suatu tempat memulai shalat, di tempat lain sedang bersiap-siap untuk mulai shalat. Begitu terus berputar.

Saat makna ini kita transformasikan dalam kehidupan keIslaman kita secara utuh, maka usailah segala permasalahan umat. Rasulullah melalui wahyu Allah, mengajarkan nilai-nilai universal dalam tiap ibadah yang menjadi syariat. Saat nilai ini dimaknai dengan lebih dalam, maka perpecahan umat saat ini akan benar-benar tuntas. Karena saat ini umat tak berkiblat pada satu tujuan, tak bergerak dalam shaf yang rapi dan tidak menumbangkan maksiat meski telah ditegakkan shalat.