Minggu, 17 Februari 2013

KEDUDUKAN WANITA DALAM FILM MENURUT LAURA MULVEY



Biografi

Laura Mulvey adalah seorang ahli teori feminis pada film Inggris yang lahir pada 15 Agustus1941 yang menjalani pendidikan di Universitas St Hilda, Oxford. Saat ini Laura Mulvey adalah seorang profesor film dan media belajar di Birbeck, University of London.

Laura Mulvey terkenal karena esainya yang berjudul “Visual Pleasure and Narrative Cinema” (Kesenangan Visual dan Narasi Sinema), yang ditulis pada tahun 1973 dan diterbitkan pada tahun 1975 dalam jurnal Layar teori film Inggris yang berpengaruh.

Artikelnya adalah salah satu esai besar pertama yang membantu menggeser orientasi teori film terhadap psikoanalisis, dipengaruhi oleh teori Sigmund Feud dan Jacques Lacan.

Sebelum Mulvey, film teoritisi seperti Jean-Louis Baudry dan Christian Metz menggunakan ide psikoanalitik dalam rekening teoritis bioskop mereka. Namun, kontribusi Mulvey adalah untuk meresmikan persimpangan teori film, psikoanalisis dan feminisme.

Mulvey menyatakan bahwa ia bermaksud utnuk menggunakan konsep Freud dan Lacan sebagai “senjata politik”. Dia kemudian menggunakan beberapa konsep mereka untuk menyatakan bahwa aparat sinematik klasik Hollywood pasti menempatkan penonton dalam posisi subjek maskulin, dengan sosok wanita di layar sebagai objek keinginan dan “tatapan laki-laki”.

Dalam era klasik sinema Hollywood, pemirsa didorong untuk mengidentifikasi dengan protogonis dari film, dan yang masih didominasi oleh pria


Konsep Pemikiran Laura Movley Terhadap Keberadaan Gender Perempuan Dalam film

Dalam tulisannya, Visual Pleasure and Narrative Cinema, Laura Mulvey menyatakan bahwa film yang beredar dalam masyarakat merupakan hasil bentukan dari sistem patriarki sosial. Menggunakan pendekatan psychoanalytic, Mulvey mengkritisi bahwa keberadaan tokoh perempuan dalam film bukanlah sebagai pencipta makna, melainkan hanyalah pembawa makna. Dengan berperan sebagai pembawa makna, perempuan dapat memiliki peran dalam masyarakat patriarkal yang dibentuk oleh laki-laki. Dalam memenuhi partisipasi tersebut, perempuan memainkan perannya dengan menjadi seorang ibu, yaitu dengan melahirkan anak-anaknya.

Walaupun demikian, keberadaan perempuan tidak dapat dihapuskan dari sistim masyarakat patriarkal. Untuk dapat disebut sebagai pihak yang dominan, laki-laki membutuhkan perempuan yang diibaratkan sebagai the castrated women (Perempuan adalah makhluk yang terkebiri. Hal inilah yang menyebabkan perempuan berkedudukan lebih rendah dari laki-laki, karena perempuan tidak memiliki penis). Kekurangan yang terdapat pada perempuanlah yang membuat laki-laki menempati posisi tertinggi dalam status sosial patriarki. Laki-laki dapat mewujudkan semua fantasi dan obsesinya dengan adanya perempuan, sementara perempuan masih terbelenggu dengan statusnya sebagai pembawa makna.

Mulvey juga mengangkat salah satu teori Freud, scopophilia, yaitu kenikmatan yang diperoleh subjek saat menjadikan orang lain sebagai objek pandangan. Menurut Freud, scopophilia dapat dilihat pada perilaku voyeuristic anak-anak. Mereka mendapat kepuasan dengan melihat diam-diam dan berusaha agar tidak diketahui oleh orang lain. Hal yang demikian dapat dilakukan oleh penonton yang menonton film di bioskop. Penonton terisolasi dari keberadaan penonton lain. Selain itu, bioskop yang gelap membuat penonton dapat menikmati adegan-adegan dalam layar tanpa mengkhawatirkan pandangan penonton lain.

Scopophilia dalam film –dengan bantuan kamera untuk mengendalikan pandangan penonton—merupakan kenikmatan yang diperoleh penonton saat memandang objek (perempuan) dalam film. Penonton mengidentifikasikan kamera dengan diri mereka sendiri. Dengan scopophilia, penonton seolah-olah memiliki kuasa atau kendali atas apa yang mereka lihat dalam layar. Dalam praktiknya, hal ini menempatkan laki-laki sebagai pihak yang aktif dan perempuan sebagai objek yang pasif.

Selain  scopophilia, terdapat perilaku penonton yang lain, yaitu narcisstic identification. Narcisstic identification adalah penonton yang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh utama laki-laki yang ada dalam scene. Dengan pengidentifikasian tersebut, penonton laki-laki seolah-olah mendapatkan kendali penuh atas pemeran perempuan dan aksi yang terdapat pada film. Penonton laki-laki dapat memuaskan egonya untuk berkuasa dan merasa sebagai pemegang kendali atas apa yang dilihat oleh tokoh utama laki-laki dalam layar. Laki-laki, sebagai figur yang aktif, membutuhkan perilaku narcisstic identification untuk mengontrol fantasi-fantasi mereka atas perempuan yang pada akhirnya akan dipuaskan oleh film yang mereka nikmati.

Mulvey menambahkan dalam tulisannya, sejak zaman sinema klasik Hollywood, perempuan hanyalah berfungsi sebagai ikon. Perempuan adalah objek erotik untuk laki-laki, baik untuk karakter laki-laki dalam film maupun untuk penonton laki-laki sebagai penikmat film. Hanya tokoh laki-laki dalam film dan penonton laki-laki yang dapat menempatkan diri sebagai subjek yang aktif. Laki-laki, baik aktor maupun penonton, hadir untuk mengeksplorasi objek. Sinema klasik Hollywood berfungsi untuk mengangkat ego laki-laki dan menekan hasrat alami perempuan. Perempuan tidak akan pernah menjadi sebuah subjek. Perempuan dilarang untuk memiliki hasrat pada objek, atau lebih tepatnya, dilarang menjadikan laki-laki sebagai objek mereka. Laki-laki dalam film merupakan representasi atas kekuasaan itu sendiri.

Intervensi posfeminis ke dalam arena teori media dan film merupakan hasil pertumbuhan dan perkembangan keterlibatan feminisme, baik di dalam wacana film. Feminis telah lama bertemu dalam perkembangan praktik feminis di dalam area produksi dan kesarjanaan film. Dalam prosesnya, mereka telah memeriksa bahasa film dengan pandangan untuk mendemistifikasi berbagai asumsi tentang beroperasinya kebanyakan teori media dan film. Intervensi feminisme gelombang kedua mencoba untuk menelaah cara di mana ideologi patriarki dan formasi sosial masyarakat patriarkal dipelihara melalui wacana media dan film. Para teoritikus dan praktisi feminis telah lama tertarik pada ketegangan antara sinema Hollywood klasik dan sinema independen; dalam persimpangan perdebatan di dalam area feminisme dan teori psikoanalis, dan di dalam potensinya untuk menantang wacana tradisional yang dominan di dalam area teks film dan kepenontonan film, khususnya dalam konteks menonton kenikmatan dan ‘melawan’ kenikmatan. Kemunculan kesarjanaan feminis mengenai teori media dan film telah menantang kanon dan cara produksi film tradisional. Selanjutnya, persimpangan feminisme dengan poskolonialisme dan antirasisme telah melontarkan tantangan terhadap penggunaan model-model dari teori psikoanalisis oleh feminisme dan juga terhadap analisis arus utama atas teks-teks kebudayaan pop, dan telah membangun keragaman suara dalam kritik dan praktik film feminis.


Teori Psikoanilisis dan Teori film Feminim.

Kebangkitan kritik film feminis pada 1960-an dan 1970-an telah dihadapkan dengan kritik realisme Marxis dan dengan perkembangan dalam teori film seperti semiologi dan psikoanalisis. Kritik film feminis bergesar dalam penekanannya dari penekanan sosiologis yang lebih awal pada ‘isi’ kepada penekanan pada produksi makna, di mana titik berat diletakan pada proses interaksi antara psikoanalisis dan sinema. Mulvey (1993) mencatat bahwa politik feminis, seperti kebangkitannya pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, memainkan bagian penting dalam meletakkan Freud pada agenda politik, bersama-sama dengan Marx. Sebagaimana dia mencatat , ‘Di dalam polemik ini, pengaruh Brecht bertemu dengan psikoanalisis dan semiotika modernis’ (Mulvey, 1993:3).

Mulvey mencatat bahwa semiotika dan teori psikoanalisis sangat penting dalam pembebasan konseptual estetika feminis, dengan memperkenalkan konsep yang menyoroti jurang pemisah antara citra dan objek yang mereka klaim untuk merepresentasikan, dengan demikian membangun kecairan dan ketidakstabilan makna di dalam representasi. Mulvey mengklaim implikasi teoritis dari pertemuan feminisme dengan semiotika dan teori psikoanalisis melangkah lebih jauh daripada hal ini, ‘tidak hanya meretas kesenjangan di dalam penandaan, namun juga menawarkan suatu teori yang mampu menguraikan bahasa pemindahan yang memisahkan penanda yang ada dari petandanya yang nyata’ (ibid).

Dalam apa yang sekarang dipandang sebagai kontribusi klasik pada analisis teori psikoanalisis di dalam teori film feminis, karya Laura Mulvey (1981, 1989, 1992 [1975], 1993) dan Mary Ann Doane (1982, 1987, 1991) keduanya telah mengambil konsep dan kerangka referensi psikoanalisis untuk menjelajahi relevansi mereka bagi teori film feminis.

Laura Muvley dan Sinema Naratif Klasik

Artikel Mulvey yang kemungkinan kini akan berkembang, Visual Pleasure and Narrative Cinema (1975), mengulas sinema naratif klasik (film realis), yang dia pahami seperti yang ditunjukkan oleh sinema Hollywood. Mulvey (1989:14) mengkritik sinema naratif klasik sebagai ekspresi dari ‘cara ketaksadaran masyarakat patriarkal telah menstrukturkan bentuk film’. Dia mengajukan demistifikasi terhadap asumsi sinema naratif klasik dan menyimpulkan bahwa tujuan dari sinema feminis, dan kiranya teori film feminis, adalah untuk menghacurkan bentuk-bentuk kenikmatan yang diasosiasikan dengan sinema Hollywood klasik. Salah satu elemen kunci dari artikel Mulvey adalah cara ‘kenikmatan’ dikontruksi oleh sinema arus utama (Hollywood) dan pentingnya kenikmatan yang demikian bagi penonton yang berbeda.

Mulvey berusaha untuk membangun arti penting psikoanalisis bagi analisis film, di dalam teori film secara umum, namun lebih khusus lagi di dalam analisis film feminis. Dalam mengambil dari psikoanalisis, Mulvey bermaksud untuk menunjukkan bagaimana kenikmatan filmis memperkuat pola-pola subjektivitas dan formasi sosial yang sudah ada di dalam subjek individual dan masyarakat. Dia berusaha untuk membuat bagaimana film mereflesikan dan mengkultivasi interpretasi tentang perbedaan seksual yang sudah ‘dinormalisasi’ dan yang mengontrol representasi serta ‘cara pandang erotis’. Mulvey jelas memandang psikoanalisis sebagai senjata politis yang berguna bagi feminisme, yang menurutnya dapat mendemonstrasikan dan memunculkan ‘ketaksadaran masyarakat patriarkal’ ke permukaan. Penggunaan ‘patriarki’ dan ‘phallosentrisme’ oleh Mulvey merupakan ciri khas dari penulis pra posfeminis, dan kedua istilah tersebut digunakan tanpa problematik.

Bagi Mulvey, dari perspektif phallosentris, citra dominan adalah tentang ‘perempuan yang dikebiri’. Seperti komentarnya, ‘Suatu gagasan tentang perempuan berdiri sebagai pasak (linchpin) pada system: adalah kekurangannya yang membuat phallus sebagai kehadiran simbolik, adalah hasratnya untuk menutupi kekurangan tersebut yang ditandakan phallus’ (Mulvey, 1992:158). Seperti yang ditunjukkan Mulvey, model ini membuat hasrat perempuan sebagai tertaklukan pada citranya, misalnya seseorang yang ‘dikebiri’ dan apa yang tidak mampu dia (perempuan) tegakkan. Mulvey (1992:159) mencatat bahwa, di dalam budaya patriarkal, perempuan berdiri ‘sebagai penanda untuuk ikatan lainnya laki-laki dengan tatanan simbolik, yang di dalamnya laki-laki dapat menghidupkan fantasi dan obsesinya melalui perintah linguistik dengan membebankan pada citra bisu perempuan yang masih terikat pada tempatnya sebagai pembawa, bukan sebagai makna’. Isu diferensiasi di dalam konsep ‘perempuan’ bukanlah pokok persoalan bagi Mulvey, dan dia bekerja di dalam model ‘oposisi biner’ sederhana. Hal ini terlihat di dalam penggunaan konsep ‘penindasan’ yang tanpa problematik bagi Mulvey dan penggunaan psikoanalisis yang ‘menghadapkan kita dengan tantangan terbesar, bagaimana melawan ketidaksadaran yang terstruktur seperti bahasa… ketika masih terkungkung di dalam bahasa patriarki?’ (ibid).

Mulvey menunjukkan bagaimana psikoanalisis dan konsep ketidaksadaran dapat digunakan untuk menteorikan konsep ‘kenikmatan’ dan ‘pandangan’. Dia mencatat: ‘Sebagai sistem representasi yang telah maju, sinema mengajukan pertanyaan tentang cara ketidaksadaran (dibentuk oleh tatanan dominan) menstrukturkan cara melihat dan kenikmatan dalam memandang’ (Mulvey, 1992:159). Sistem representasi ini mencapai perwujudannya yang sempurna (apotheosis) di dalam film Hollywood. Seperti komentar Mulvey (1992:160), ‘Film arus utama mengkodekan erotika dalam bahasa tatanan patriarkal dominan’. Tujuan analisis Mulvey tidak hanya ‘untuk menantang bentuk-bentuk dominan dan kenikmatan erotik yang memiliki perempuan di pusatnya, namun untuk menegasikan hubungan antara kenikmatan dan film fiksi naratif dalam rangka menyusun suatu bahasa baru tentang hasrat’ (ibid).

Mengambil dari psikoanalisis Freudian dan Lacanian, Mulvey menelaah kenikmatan yang ditawarkan oleh sinema Hollywood klasik kepada penonton. Dia menggunakan konsep ‘scopophilia’ dan ‘narsisisme’ sebagai mekanisme yang melaluinya kenikmatan ditelaah. Di dalam teori psikoanalisis, ‘scopophilia’ didefinisikan sebagai dorongan seksual mendasar pada manusia untuk melihat pada manusia lainnya di dalam cara yang sedemikian rupa sehingga proses memandang merangsang stimulasi seksual dan mengobjektifikasi orang yang dilihat. Seperti komentar van Zoonen (1994:89), perasaan gairah dan pemuasan yang dihasilkan tidaklah berhubungan langsung dengan zona erotogenik. Scopophilia lebih jauh dapat dipisahkan ke dalam fetisisme dan voyeurisme (hal ini akan dieksplorasi lebih lengkap di bawah). Konsep kedua adalah narsisme, yang Mulvey deskripsikan sebagai suatu proses identifikasi dengan citra di atas layar.

Mulvey mengembangkan konsep voyeurisme di seputar persoalan cara sinema distrukturkan. Kaplan menyatakan bahwa voyeurisme ‘dihubungkan dengan insting scopophilis (misalnya, kenikmatan laki-laki pada  organ seksualnya sendiri ditransferkan melalui kenikmatan dalam melihat orang lain melakukan hubungan seks)’ (Kaplan, 1983:30). Mulvey menyatakan bahwa scopophilia, kenikmatan dalam melihat, adalah salah satu dari sejumlah kemungkinan kenikmatan yang ditawarkan oleh sinema. Sebagaimana dia (1992:160) tunjukkan, ‘terdapat situasi di mana melihat diri sendiri adalah sumber kenikmatan, seperti juga…terdapat kenikmatan itu sendiri ketika dipandang….’ Mulvey merujuk pada scopophilia sebagaimana digunakan di dalam Three Essays on Sexuality karya Freud, ‘di mana dia mengasosiasikan scopophilia dengan membawa orang lain sebagai objek menundukkan mereka pada suatu pandangan mengontrol dan ingin tahu’. Di samping perkembangan lebih jauh dari konsep scopophilia di dalam karya Freud berikutnya, Mulvey berpendapat bahwa hal tersebut terus eksis sebagai dasar erotik bagi kenikmatan dalam memandang orang lain sebagai objek. Dia selanjutnya mencatat bahwa, ‘pada titik ekstrem, hal tersebut bisa difiksasikan ke dalam perbuatan yang tidak wajar, memproduksi voyeur dan pengintip yang obsesif yang kepuasan seksualnya hanya bisa muncul dari melihat dalam pengertian pengontrolan yang aktif, suatu objektifikasi terhadap yang lain’ (Mulvey, 1992:161). Mulvey menunjukkan bahwa ‘pengalaman’ sinematik (kontras antara kegelapan dan auditorium dan perpindahan pola cahaya dan bayangan) menyajikan untuk menambah dan mempertinggi ‘ilusi pemisahan voyeuristik’. Seperti yang dia catat, situasi dan kondisi yang dialami di dalam situasi ilusif di mana hal tersebut tampak seperti mereka sedang singgah di dunia yang privat.



Citra Perempuan Dalam Film Menurut Laura muvley

Mulvey mengkritisi bahwa keberadaan tokoh perempuan dalam film bukanlah

sebagai pencipta makna, melainkan hanyalah pembawa makna. Mulvey menambahkan dalam tulisannya, sejak zaman sinema klasik Hollywood, perempuan hanyalah berfungsi sebagai ikon. Perempuan adalah objek erotik untuk laki-laki, baik untuk karakter laki-laki dalam film maupun untuk penonton laki-laki sebagai penikmat film –Sinema klasik Hollywood berfungsi untuk mengangkat ego laki-laki dan menekan hasrat alami perempuan. Perempuan tidak akan pernah menjadi sebuah subjek.

Perempuan dilarang untuk memiliki hasrat pada objek, atau lebih tepatnya,dilarang menjadikan laki-laki sebagai objek mereka. Laki-laki dalam film merupakan representasi atas kekuasaan itu sendiri.

Perempuan yang bertindak sebagai pengamat (khalayak) cenderung melakukan tatapannya sebagai si pemeran perempuan yang sedang diperiksa dan atau perempuan yang sedang dimandikan itu (sudut protagonis). Kultus terhadap bintang/pemeran perempuan dalam membangun konsep berpikir suatu bentuk tubuh yang indah (objek fisik) yang ditransformasikan kepada dirinya (fetishistic schopophilia). Dan, Mulvey mengindikasikan perempuan ini adalah pasif. Karena hanya dijadikan bahan mentah objek tatapan.

Berbeda dengan pandangan laki-laki, momen tatapan ini mengikat imajinasinya yang berhasrat untuk menikmati. Hasrat ini terlahir dari akibat bentuk kepuasan erotik dan seksual laki-laki. Hal ini dikatakan sebagai tindakan aktif, karena perempuan sebagai objek seksual semata, “to be looked-at image”.

Implikasi dari active/looking dan passive/looked-at menunjukkan kesenjangan dari perbedaan pandangan seksual antara laki-laki dan perempuan. Adanya kuasa simbolik laki-laki yang mendomiasi sebuah alur cerita dan gerak kamera pada gambar film.
Mulvey sendiri memberikan penyelamatan terhadap kesenangan dan proses pengebirian (castration) pada tahapan penyelidikan mendetail terhadap momen trauma orisinal. Seperti suatu tuduhan, steriotipe, penghukuman atau penyelamatan terhadap objek yang bersalah. Pengingkaran terhadap pengebirian melalui substitusi objek pemujaan bisa dilakukan dengan memutuskan hubungan dengan ilusionisme, yang mematerialkan kamera, dan berproduksi dalam ‘dialektika’ khalayak. Perempuan yang dicitrakan dan digunakan sebagai objek secara terus menerus adalah bagian dari sikap kritik Mulvey terhadap kemunduran bentuk film tradisional.

Laura Mulvey beranggapan bahwa terdapatketidakseimbangan antara yang menonton dengan yang ditonton. Pada era film-filmHollywood klasik, mau tak mau penonton ditempatkan pada posisi subjek yang maskulin,dengan sosok wanita di layar adalah objek dari nafsu/gairah. Dalam film male gaze terjadisaat semua penonton diposisikan sebagai laki-laki yang heteroseksual. Permasalahan yangmuncul di sini adalah ketika penonton itu adalah wanita, maka mereka seakan dipaksa untuk dapat mengubah sudut pandang mereka mengikuti sudut pandang laki-laki dalam melihatwanita. Sebagai contoh gampang dalam hal ini adalah penonton diarahkan untuk dapatmengenali tokoh protagonis yang selalu bergender laki-laki.



Sudut Pandang  Kelompok  Terhadap Pemikiran  Laura Muvley

Gender perempuan pada film (mengenai objek dan subjek, kaitannya dengan perempuan) terkait dengan nilai ideal dan nilai komersial.

Nilai ideal ( nilai yang menampilkan perempuan secara utuh dan murni untuk kepentingan estetika film dan  untuk kepentingan edukasi, apresiasi tanpa unsur eksploitasi wanita

Nilai komersial (nilai yangg berhubungan dengan selling point film itu sendiri). faktanya perempuan sering dijadikan objek jika mengacu pada teori Laura.Muvley



Pandangan Apresiator Dari Berbagai Kalangan

Perempuan lam konteks estetika film dsebagai daya tarik visual (laki-laki maupun perempuan). Kedudukan Perempuan tidak hanya sebagai objek (sebagian perempuan tidak merasa sebagai objek dalam film).



Pandangan perempuan terhadap film

Perempuan cenderung ingin menampilkan keindahan

Perempuan lebih senang melihat sisi keindahan perempuan dibandingkan dengan laki-laki

Sosok perempuan secara visual lebih menarik bagi kedua gender



Teks dan Konteks film

Penghancuran struktur film menurut Laura.Muvley, dalam hal ini tentang Eksposisi (perkenalan),Komplikasi (insiden permulaan), Rising action / konflik (penanjakan laku),Klimaks/ Krisis ( titik balik : Turning point), Penyelesaian ( penurunan laku ; falling action) dan Keputusan (Kastafora : Resolusi), dinilai tidak relevan, apabila yang menjadi isu sentral bahasannyan pendekatan wanita sebagai objek dalam sebuah film. Mungkin yang dimaksud oleh Laura Muvley, adalah teknis pengambilan visual terhadap wanita dalam  film



Kesimpulan

Pandangan atau pemikiran Laura Muvley mengenai perempuan hanya sebagai objek dalam film menurut pendapat kami tidak sepenuhnya sesuai dengan realitas / sudut pandang masyarakat (perempuan dan laki-laki) terhadap film







Sumber:

·         Ann Brook, Postfeminimisme & Cultural Studies, Jalasutra, Yogyakarta, 2011

·         Mulvey, L (1975) ‘Visual Plesuare and Narrative Cinema,’ Screen 16(3) (Musim Semi), hlmn 6-18

·         Mulvey, L (1981) ‘Afterthough on ‘Visual Pleasure and Narrative Cinema’ Inspired by Duel in The Sun (King Vidor, 1946), ‘Framework 15-17, hlmn. 12-15

·         Mulvey, L (1991) ‘Xala and Fetishism, ‘kuliah yang tidak diterbitkan, Humanities Institute, Stony Brook, New York, Maret.

·         Mulvey, L (1992) ‘From ‘Visual Pleasure and Narrative Cinema ‘’ (1975), dalam A. Easthope dan K. McGown (ed) A Critical and Cultural Theory Reader, NSW: Allen & Unwin.

·         Mulvey, L (1993) ‘Some Thoughts on Theories of Fietishism in The Context of Contemporary Culture,’ dalam October 65 (Musim Panas), hlmn. 65-77

Sabtu, 16 Februari 2013

Analisis Lirik Lagu Padi-Kasih Tak Sampai



Teori Semiotik
Semiotics is the theory and analysis of signs and significations. A semiotician like the early Barthes sees social and cultural life in terms of signification, and therefor in terms of the non-essential nature of objects.... Semiotics also studies the way that signs signify – in the conventional literaty texts and legal documents, or in advertisements and bodily conducts.” - John Lechte (1994: 121)
Bahasa merupakan alat komunikasi yang terpenting dalam kehidupan manusia. Kata-kata yang dibentuk dalam bahasa diungkap melalui satu sistem perlambangan yang dapat difahami secara lisan maupun tulisan.
Dalam perbincangan mengenai semiotika sebagai sebuah ilmu, ada semacam ‘ruang kontradiksi’ yang secara historis dibangun di antara dua ‘kubu’ semiotika, yaitu semiotika kontinental Ferdinand deSaussure dan semiotika Amerika Charles Sander Peirce. Seakan-akan eksistensi kedua kubu semiotika tersebut dapat direduksi berdasarkan kerangka oposisi biner (binary opposition): antara signifikasi vs komunikasi, statis vs dinamis, konvensional vs progresif, dogmatis vs revolusioner, reproduksi vs produksi, langue vs parole, teori vs praksis. Seakan-akan tidak ada lagi ‘ruang’ di luar ‘ruang oposisi biner’ tersebut yang di dalamnya bahasa dapat dibicarakan sebagai totalitas, sehingga bahasa seakan-akan hanya berkembang (atau tidak berkembang) di dalam masing-masing ruang yang ekslusif tersebut.
‘Pembacaan mendalam’ terhadap Saussure dan Pierce justru memperlihatkan bahwa kedua tokoh semiotika ini sesungguhnya tidak saling ‘berseteru’, tidak saling ‘beroposisi’, melainkan saling mengisi dan melengkapi. ‘Semiotika signifikasi’ (semiotics of signification) yang identik dengan Saussure dan ‘semiotika komunikasi’ (semiotics of communication) yang identik dengan Pierce, dengan demikian, bukan merupakan sebuah oposisi biner, melainkan sebuah totalitas teori bahasa yang saling menutupi.
Semiotika (Semiotics) adalah ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial (Ferdinnand de Saussure).
            Selain Ferdinand de Saussure, Peirce adalah salah satu tokoh dalam semiotika. Namun bila Saussure dianggap mengabaikan subjek sebagai agen perubahan sistem bahasa, Peirce sebaliknya melihat subjek sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses signifikasi. (Yasraf dalam Alex, 2009: xii)
            Bagi Pierce, tanda adalah unsur bahasa atau citra yang tersusun dari hubungan antar tanda itu sendiri. Menurut Pierce tanda selalu bersifat arbiter, atau sebaliknya, ia merepresentasikan dirinya sendiri, yang selanjutnya menentukan apakah suatu tanda adalah hal yang disebut Pierce sebagai indeks, ikon,dan simbol.
1.      Indeks menunjuk pada makna langsung yang jelas dan bersifat universal. Hubungan antara tanda dengan yang ditandai bersifat kausal. Contoh: Jika, terlihat asap berarti ada api.
2.      Ikon adalah tanda yang memiliki makna assosiatif atau analogis. Hubungan antara tanda dengan yang ditandai berdasarkan kemiripan atau kesamaan. Contoh: Gambar pompa bensin di jalan raya melambangkan pompa bensin terdekat.
3.      Simbol adalah suatu tanda yang bermakna simbolik yang dapat dimengerti hanya jika dipahami latar budayanya. Hubungan antara tanda dengan yang ditandai bersifat konvensional (berdasarkan kesepakatan umum). Contoh: Gambar timbangan di pengadilan sebagai lambang keadilan.


Analisis Semiotika lirik lagu kasih tak sampai
Indah .. terasa indah                                                   ikon (jatuh cinta)
Bila kita terbuai dalam alunan cinta               
Sedapat mungkin terciptakan rasa                              indeks (harapan kasih
Keinginan saling memiliki                                           sayang)
Namun bila itu semua                                                 ikon (harapan)
Dapat terwujud dalam satu ikatan cinta                    
Tak semudah seperti yang terbayang                          indeks (kesulitan)
Menyatukan perasaan kita ...
Tetaplah menjadi bintang di langit
Agar cinta kita akan abadi
                                          indeks (harapan kasih sayang
Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
                    yang abadi)
Agar menjadi saksi cinta kita
                                     
berdua ... berdua ...
Sudah .. terlambat sudah                                            indeks (putus harapan)
Kini semua harus berakhir                                          
Mungkin inilah jalan yang terbaik                               indeks (keikhlasan)
Dan kita mesti relakan kenyataan .. ini

Menjadi saksi kita berdua ...                                       indeks ( kesaksian)

Lirik lagu ‘kasih tak sampai’ yang dinyanyikan oleh grup band PADI menceritakan harapan sepasang kekasih yang menginginkan bisa bersama dalam menjalani cintanya, akan tetapi semua itu tidak bisa terwujudkan (kasih tak sampai).
Video klipnya dikemas dengan romantis, seperti pangambilan gambar ditaman, pengambilan gambar di bibir danau yang dihiasi lilin sebagai penggambaran orang yang sedang jatuh cinta. Dan keindahan cinta juga tergambarkan oleh kupu-kupu. Dan bintang dijadikan sebagai lambang keabadian dalam video klip ini.
Dalam video klip ini yang menggambarkan kasih tak sampai, tidak direstuinya hubungan mereka oleh orang tua wanitanya. Dan matinya pria dalam video klip ini juga menggambarkan tidak bersatunya cinta mereka.