A. Latar
Belakang
Jawa Barat adalah salah satu
daerah di Indonesia yang kaya akan kesenian tradisional, kurang
lebih terdapat 65
macam kesenian tradisional
yang masih hidup dan
berkembang di Jawa
Barat. Dari sekian
banyak kesenian tradisional yang ada di Jawa Barat tersebut,
pada umumnya tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan lingkungan
sosial budaya masyarakat sekitarnya, salah satu contohnya seperti kesenian
tradisional Hadro.
Hadro adalah salah
satu kesenian tradisional
yang tumbuh dan berkembang di
Desa Bojong Kecamatan
Bungbulang Kabupaten Garut. Masyarakat Desa
Bojong boleh berbangga
hati karena meskipun
keseniaannya berada pada kondisi
yang kurang menguntungkan, tapi
kesenian Hadro di
Desa Bojong tetap tegar,
perkasa dan memperlihatkan kemandirian.
Kesenian Hadro sudah hidup
sejak puluhan tahun
lalu sebagai warisan
dari para leluhur
yang sekarang masih tetap terjaga.
Lahir dan
berkembangnya kesenian Hadro
tidak lepas dari
tumbuh dan berkembangnya syiar
agama Islam. Orang
yang pertama kali
memperkenalkan kesenian Hadro ini
adalah seorang Kyai
Haji Ahmad Sayuti,
Pak Sura dan
Pak Sastra yang berasal
dari Kampung Tanjung
Singuru Kecamatan Samarang Kabupaten Garut
pada tahun 1917.
Pada awalnya kesenian
Hadro hanya sebatas lingkungan pesantren saja. Bagi para
santri hal tersebut sudah menjadi kebiasaan yang harus
dilakukan setelah mereka
mendapatkan ilmu tentang
agama Islam. Kegiatan tersebut
bertujuan untuk lebih
percaya serta mensyukuri
atas nikmat yang diberikan
oleh Sang Maha
Pencipta-Nya. (Hasanudin, wawancara
Januari 2010).
Mereka pun
belajar ayat-ayat Al-Qur’an
dari kitab Al-Barjanji,
yang dipakai dalam kesenian
Hadro untuk melantunkan
pujian-pujian yang isinya mengagungkan Allah
SWT dengan segala
ciptaan-Nya. Dengan keuletan
KH. Ahmad Sayuti dan
Pak Sura dalam
menarik perhatian masyarakat
agar berminat dan
berkeinginan untuk mempelajari
Bahasa Arab sebagai
permulaan memeluk agama Islam,
maka dilakukannya dengan
media kesenian yaitu
kesenian Hadro yang di
dalamnya membahas komunikasi dengan menggunakan kata-kata Bahasa Arab
(Hasanudin, wawancara Januari 2010).
Apabila melihat
pendapat di atas,
sebagai perwujudan gagasan
KH. Ahmad Sayuti dan
Pak Sura, maka
kesenian Hadro lah
yang dijadikan sebagai media
syiar agama Islam
untuk bisa diterima
oleh masyarakatnya. Dengan demikian mereka
akan bisa melihat,
mendengar dan merasakan
kesenian Hadro tersebut, sehingga
mereka tertarik untuk
mempelajari agama Islam.
Secara tidak langsung juga
dengan adanya kesenian
Hadro untuk taat
terhadap ajaran agama berdasarkan kaidah agama Islam.
Hadro adalah satu jenis kesenian tradisional yang dipadukan dengan seni
bela diri sebagai
kebanggaan masyarakat Desa
Bojong. Kesenian tradisional Hadro senantiasa
tampil dalam setiap
kesempatan, baik pada
upacara hari besar
Nasional maupun acara-acara
penting di tingkat
desa, kecamatan, kabupaten bahkan tingkat
provinsi. Di samping
itu ditampilkan pula
dalam acara perkawinan, khitanan,
pesta adat menyambut
datang panen dan dalam acara keagamaan seperti
dalam rangka memperingati
Maulud Nabi Muhammad
SAW yang disebut Muludan, Rajaban dan dalam acara
keagamaan lainnya.
Kesenian tradisional
Hadro pada acara Muludan sangat
menarik apabila diamati dan
ditelusuri secara lebih jelas. Karena kesenian Hadro menyajikan
lirik-lirik indah bernafaskan
pujian kepada Tuhan,
dan sajak-sajak indah
sebagai satu tanda rasa
cinta kasih kepada
Rasulullah SAW. Lagu-lagu
pada kesenian Hadro memiliki urutan penyajian yang
baku begitu pula dengan pola tabuhnya. Kesenian Hadro juga menampilkan
gerak dan gaya yang harmonis dalam penyajiannya.
Kesenian tradisional Hadro
mengandung berbagai kesan bagi masyarakat Desa
Bojong. Jadi sayang
sekali bila kesenian
Hadro diabaikan tanpa
ada kelanjutan dan perkembangan.
Karena mungkin suatu
saat akan terlupakan
dari masyarakat setempat maupun
dari pihak yang
peduli terhadap kesenian
tersebut. Oleh karena itu, penelitian Hadro layak dilakukan untuk
melestarikan kebudayaan tersebut.
B. Tinjauan Teoritis
tentang Kesenian Hadro
1. Kesenian Tradisional
Kesenian merupakan
salah satu unsur
kebudayaan yang terbentuk
dari hasil kreativitas dan
inovasi masyarakat dan
lingkungannya. Kesenian tersebut kemudian diwujudkan
ke dalam berbagai
bentuk dan raga,
baik tradisional maupun non
tradisional atau kreasi baru.
Kesenian tradisional
lahir dari budaya
masyarakat terdahulu di
suatu daerah tertentu yang terus berkembang secara turun temurun, dan
terus dinikmati oleh generasi penerusnya. Seperti diungkapkan oleh Yoeti
(1985:2) bahwa: “Seni budaya tradisional adalah seni budaya yang sejak lama
turun temurun telah hidup dan berkembang pada
suatu daerah tertentu.”
Penjelasan tersebut menunjukan bahwa yang
menjadi ciri kesenian
tradisional adalah adanya
sistem pewarisan yang dilakukan
secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Mengenai kesenian
tradisional Kosim dalam
Masunah (1985:131) mengungkapkan
bahwa:
“Kesenian tradisional adalah satu bentuk seni yang bersumber dan
berakar serta telah dirasakan
sebagian milik sendiri
oleh masyarakat dan lingkungannya. Pengolahannya berdasarkan
cita rasa masyarakat pendukungnya.
Cita rasa disini
mempunyai pengertian yang
luas, termasuk nilai kehidupan
tradisi pandangan hidup,
pendekatan falsafah, rasa
etis dan estetis serta ungkapan
budaya lingkungan, hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai
tradisi pewarisan yang
dilimpahkan dari angkatan
tua ke angkatan muda.”
Dari uraian
di atas dapat
disimpulkan bahwa kesenian
tradisional merupakan salah satu
seni budaya yang
lahir dari kebudayaan
masyarakat sebelumnya, yang berkembang
terus-menerus sehingga kesenian
tradisional tersebut
kemudian diwariskan secara
turun temurun dari
generasi ke generasi berikutnya dan dengan adanya proses
kreasi yang terus menerus agar kesenian ini dapat tetap lestari, tetapi tidak
mengubah keaslian dari seni tradisional tersebut.
2. Kesenian Tradisional Hadro
Kesenian tradisional
pada umumnya tumbuh
dan berkembang sejalan dengan perkembangan
lingkungan sosial budaya
masyarakat sekitarnya.
Berdasarkan pada uraian
tersebut, di Desa
Bojong Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut
terdapat satu jenis
kesenian tradisional yang
sampai sekarang masih tetap
terjaga kelestariannya. Kesenian
tradisional tersebut adalah
kesenian tradisional Hadro.
Kesenian tradisional
Hadro tersebut sudah
hidup sejak puluhan
tahun, sebagai warisan dari
para leluhur. Sebagai
data otentik tentang
hal ini dapat dibuktikan melalui
cerita dari para
tokoh kesenian tersebut.
Pada hakekatnya setiap peregenerasian atau
pelestarian kesenian Hadro
dilakukan secara turun temurun
dengan budaya lisan,
tanpa adanya pengembangan
seni secara kualitas. (Hasanudin, wawancara Januari 2010)
Menurut pendapat
umum Hadro adalah jenis
kesenian tradisional.
Sedangkan menurut Kamus
Umum Bahasa Sunda
”Hadro nyaeta ngaran tatabeuhan nu diwangun ku terebang
opat jeung kendang hiji” (LBSS, 1981:159). Terjemahannya Hadro
adalah nama alat
musik yang terdiri
dari empat buah terebang dan
satu buah kendang. Istilah
Hadro berasal dari
bahasa Arab yaitu ”Hadrah” yang
artinya hadir. Maksudnya mendekatkan
diri kepada Allah
SWT dan Nabi Muhammad saw
dengan menggunakan media
kesenian Hadro. (Hasanudin, wawancara Januari 2010)
Menurut Bapak
Hasanudin (Ketua Grup
Kesenian Hadro Panca
Mustika Desa Bojong) Hadro artinya hadir. Hadir di sini maksudnya dalam
diri seseorang harus hadir
rasa cinta dan
keyakinan terhadap Allah
SWT dan Nabi
Muhammad saw sebagai Rasul-Nya.
Oleh sebab itu,
dengan sering hadirnya
lagu-lagu yang berisikan ajaran
agama Islam dan
keteladanan Nabi Muhamad
saw dalam pertunjukan kesenian
Hadro, diharapkan lambat
laun apresiator memahami
dan mengerti tentang ajaran
agama Islam. (Bapak
Hasanudin, wawancara Januari
2010)
Pengertian Hadro
dalam penelitian ini
lebih terarah pada
pengertian yang pertama, yaitu
nama salah satu
jenis kesenian tradisional.
Jadi yang dimaksud dengan kesenian
Hadro dalam penelitian
ini adalah jenis
kesenian tradisional yang terbentuk
atas empat buah terebang, satu
buah bajidor, dan
satu buah terompet yang dalam
penyajiannya waditera tersebut digunakan untuk mengiringi tarian dan
lagu-lagu berbahasa Arab yang diambil dari Kitab Al-Barjanji.
3. Kesenian Hadro Pada
Masyarakat Desa Bojong
Setiap kesenian
yang berada di
tengah masyarakat, baik tradisional
maupun non tradisional
memiliki peranan yang
sangat penting bagi
masyarakat pendukungnya. Dengan kata
lain dapat dikatakan
bahwa kehadiran kesenian
di tengah-tengah para pendukungnya
memiliki arti penting
bagi kehidupannya
sehari-hari. Tidak mungkin
suatu bentuk kesenian
itu ada di
tengah-tengah masyarakat tanpa memiliki peranan yang penting bagi
masyarakatnya.
Berkenaan dengan
peranan kesenian tersebut
di atas, peneliti
akan mencoba memaparkan tentang peranan dari kesenian Hadro bagi
masyarakat Desa Bojong Kecamatan Bungbulang
Kabupaten Garut. Pada
saat sekarang kesenian Hadro memiliki
dua peranan bagi
masyarakatnya yaitu sebagai
sarana upacara keagamaan dan
sebagai sarana hiburan.
a. Kesenian Hadro sebagai Sarana Upacara Keagamaan
Seperti yang telah
dijelaskan di atas bahwa Hadro adalah
bentuk kesenian tradisional yang hidup
dan berkembang di tatar Jawa Barat dimana penyajiannya didukung dengan
empat buah instrumen terebang, satu
buah bajidor dan
satu buah tarompet sebagai
pelengkap serta menggunakan
syair-syair berbahasa Arab yang diambil dari Kitab Al-Barjanji.
Dari berbagai
syair yang diucapkan
oleh para penyanyi
dan disajikan dalam bahasa Arab,
maka kita bisa mengambil suatu kesimpulan bahwa kesenian Hadro merupakan
salah satu bentuk kesenian tradisional yang bernafaskan Islam.
Pada umumnya,
kehadiran kesenian tradisional
yang bernafaskan Islam memiliki peranan
sebagai media upacara
bagi masyarakat pendukungnya. Berkaitan dengan
kegiatan upacara keagamaan
yang menggunakan media kesenian tradisional
Islami tersebut DH.
Nurendah Hamiddi Madja
(1996:52) menyatakan bahwa: ”Salah satu fungsi kesenian, yang merupakan
salah satu unsur kebudayaan, ialah meningkatkan
dan mengembangkan nilai
spiritual, etis, dan estetika
pada diri manusia
sebagai makhluk ciptaan-Nya
yang tertinggi derajatnya”.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Nurendah Hamiddi Madja di atas,
peneliti berpendapat bahwa:
meningkatkan dan mengembangkan
nilai spiritual yang dimaksudkan
adalah kegiatan-kegiatan yang
dilakukan untuk mempertebal keyakinan
atau keimanan seseorang
terhadap Allah SWT
dan Nabi Muhammad saw sebagai
Rasul-Nya. Tentu saja upaya yang dilakukan itu dengan menggunakan media
kesenian.
Berbicara tentang
fungsi kesenian tradisional
sebagai media upacara. Kesenian Hadro
acapkali disajikan atau
dipergelarkan pada acara
40 hari kelahiran bayi (mahinum) yang
dimaksudkan sebagai kegiatan
syukuran atau nikmat yang
diberikan oleh Allah SWT karena dikaruniai seorang anak. Kegiatan lainnya seperti
upacara peringatan Maulid Nabi.
Dari kegiatan
upacara yang dilakukan
oleh para pendukung
kesenian tradisional Hadro diharapkan
para pendukungnya dapat
menyimak dengan baik makna-makna syair
yang terkandung di
dalamnya, sehingga dapat
mempertebal keimanan para pendukungnya dan pemainnya terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
b. Kesenian Hadro sebagai Sarana Hiburan
Selain berperan
sebagai sarana upacara
seperti yang telah
dipaparkan di atas, banyak pula
kesenian yang memiliki peranan yang lain
yaitu sebagai media hiburan. Dalam hal
ini DH. Nurendah
Hammidi Madja (1996:55)
mengatakan bahwa: “Tidak sedikit
seni bernafaskan Islami
yang condong serta
didominasi oleh sifat hiburan tinimbang sebagai media komunikasi dalam
rangka pengemban amanat meneruskan dakwah Islamiyah”.
Seperti yang
diungkapkan oleh Nurendah
Hammidi Madja pada penjelasannya di
atas, memang tidak
sedikit seni-seni yang
bersifat Islami condong pada
sifat hiburan. Namun
demikian menurut penulis
kalaupun lebih condong pada
unsur hiburannya, sifat-sifat
dakwahnya pun masih
tetap tampak pada pada untaian
kata-kata yang dijadikan syairnya.
Berbicara tentang
kesenian Islam yang
bersifat hiburan, maka Hadro
sebagai salah satu
kesenian tradisional Jawa
Barat yang bernuansa
Islami, juga memiliki peranan
sebagai sarana hiburan bagi masyarakat pendukungnya. Hal ini dapat kita
lihat pada pergelaran-pergelarannya yang
bisa dipertunjukkan pada acara-acara pernikahan, khitanan, dan
acara syukuran lainnya yang dilakukan oleh masyarakat sekitarnya.
4. Perkembangan Kesenian Hadro di
Desa Bojong
Berbicara mengenai
perkembangan kesenian tradisional,
Soepandi membaginya ke dalam dua, yakni sebagai berikut:
“Perkembangan yang bersifat
vertikal dan horizontal. Perkembangan yang bersifat horizontal, artinya
perkembangan yang sifatnya memperluas daerah penyebaran, memperbesar
frekuensi pementasan, dan
memperbanyak reportoar lagu. Sedangkan
yang dimaksud dengan
perkembangan yang bersifat vertikal
artinya perkembangan yang
sifatnya meningkatkan mutu kesenian tersebut”.
Dari pernyataan
di atas, seperti
yang dialami oleh
kesenian tradisional
lainnya. Kesenian Hadro pun
mengalami perkembangan. Kesenian
Hadro mengalami
perkembangan yang bersifat horizontal karena dalam kesenian Hadro tersebut terdapat
perkembangan fungsi dan
peranan, juga memperbanyak pembendaharaan materi sajian
(teknik pertunjukan) tanpa merubah nilai yang ada di dalamnya.
Pada mulanya
kesenian Hadro hanya
disajikan atau dipergelarkan
pada acara Maulid Nabi
Muhammad saw dan
pada acara 40
hari kelahiran bayi (mahinum). Dalam perkembangan
selanjutnya, kesenian Hadro dipergunakan pula pada kegiatan
sosial lainnya seperti
telah dikemukakan di
atas yaitu diantaranya dalam acara
khitanan, pernikahan, dan
acara HUT Kemerdekaan
Republik Indonesia. Hal ini
menunjukan bahwa perkembangan
fungsi dalam kesenian Hadro terjadi pada
perkembangan fungsi sosialnya.
Seiring dengan
kemajuan di berbagai
bidang baik teknologi,
komunikasi maupun yang lainnya
tentu sangat berpengaruh
pada seni kehidupan
manusia, yang berarti berpengaruh
pula terhadap perkembangan
seni budaya kita.
Dalam hal ini seorang pakar seni pertunjukan mengatakan bahwa:
“Ketika modernisasi atau
westernisasi berlanjut, ritual
pun mengalami transpormasi bentuk
dan fungsi: pilihan
seperti obat-obatan atau
peralatan modern
diperkenalkan menggantikan ritual,
atau bahkan mungkin menghilangkannya. Orang
luar yang tidak
memiliki latar belakang
budaya yang sama dapat
mulai mengembangkan ritual
sebagai tontonan atau petunjuk
sambil mengesampingkan
fungsi orisinalnya.” (Shimeda
Takashi, 1997: 115)
Apabila kita
simak ungkapan tersebut
di atas, kemudian
kita kaitkan dengan keadaan
masyarakat sekarang, khususnya
masyarakat Desa Bojong Kecamatan Bungbulang
Kabupaten Garut, kita
dapat melihat betapa
besar pengaruh modernisasi terhadap
kehidupan masyarakat terutama
pada sektor budaya yang
ada. Hal ini
dapat kita lihat
pola kehidupan masyarakat
sehari-hari dari mulai kebutuhan
pakaian, perabot rumah
tangga hingga unsur
kepercayaan yang mereka anut,
jelas mengalami perubahan
bila dibandingkan dengan
masa-masa sebelumnya.
Proses perkembangan
kesenian Hadro di Desa
Bojong Kecamatan Bungbulang Kabupaten
Garut sangat ditentukan
oleh masyarakat sebagai penyangga kesenian tersebut. Hidup
dan matinya kesenian Hadro
tergantung dari masyarakatnya,
dalam arti ada
regenerasi sebelumnya. Hal
ini sesuai dengan pendapat Nugroho Susanto, bahwa
“kebudayaan (kesenian) tidak pernah berakhir, kalau dianggap
suatu bangunan di tengah-tengah
alam yang harus
didirikan oleh semua secara
estafet”.
Begitu pula dengan
keberadaan kesenian Hadro, setelah generasi terdahulu menghilang akan
diteruskan oleh generasi selanjutnya. Antara
generasi terdahulu dengan
generasi sekarang tentunya
mengalami perubahan, dan
perkembangan yang harus disesuaikan
dengan jamannya agar
kesenian tersebut dapat
bertahan kelestariannya.
Perubahan dan
tata nilai dalam
kehidupan masyarakat memiliki
unsur potensi dan motivasi
dalam menghasilkan perubahan
yang dinamik. Secara
garis besar perubahan itu menjadi bagian yang menyeluruh dalam kehidupan
masyarkat seperti halnya masyarakat Desa Bojong Kecamatan Bungbulang Kabupaten
Garut yang semakin berubah baik tata nilai sosial dan yang lainnya. Sebagai
perubahan yang wajar, karena
semakin berkembang fungsinya
semakin berkembang pula peradaban manusianya.
Kenyataan ini terbukti
pada peresmian Pameran Pembangunan dan HUT Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-48 di
Bandung, kesenian Hadro diminta
untuk pertunjukan lalu
diundang untuk dipertunjukan di
dalam pembukaan HUT Kota Garut, dan pada acara-acara besar Nasional serta
peristiwa penting yang
diselenggarakan oleh instansi
pemerintah Kabupaten Garut dan daerah sekitarnya. Sehingga proses
perkembangannya terus berjalan sebagai proses untuk masa yang akan datang.
5. Proses Penyajian Kesenian Hadro
pada Acara Mauludan
Pada umumnya
setiap kesenian tradisional
dalam penyajiannya mempunyai tata
cara tersendiri. Hal ini berkaitan erat dengan kebiasaan serta adat
istiadat daerah setempat.
Begitu pula dalam
kesenian Hadro yang
ada di Desa Bojong
Kecamatan Bungbulang Kabupaten
Garut, dalam penyajiannya mengalami tata cara tersendiri
yang akan dijelaskan sebagai berikut:
a.
Persiapan sebelum
pertunjukkan
Berdasarkan data
yang dapat peneliti
kumpulkan di lapangan,
diperoleh keterangan bahwa penyajian
kesenian Hadro pada
awalnya hanya dilakukan
di halaman atau di
dalam rumah. Dengan
kata lain belum
menggunakan panggung. Namun dengan
berkembangnya zaman dan
pola pikir masyarakat
melalui pengaruh yang datang dari luar, maka pertunjukan kesenian Hadro
pun mengalami perubahan, yang semula
hanya dilakukan di
halaman atau di
dalam rumah, kini pertunjukan kesenian
Hadro bisa dipertunjukan
di atas panggung.
Bahkan sering pula dipertunjukan dalam bentuk helaran atau
arak-arakan.
Waktu pertunjukan
kesenian Hadro tidak
terikat, artinya kesenian
Hadro bisa dipertunjukan pada pagi hari, sore hari, bahkan bisa pula
dipertunjukan pada malam hari. Begitu pula lamanya pertunjukan tidak memiliki
ukuran waktu yang baku, dalam arti
lama tidaknya pertunjukan
kesenian Hadro tergantung
dengan kebutuhan. Seperti yang
dikemukakan oleh Bapak
Hasanudin, bahwa lama pertunjukan kesenian
Hadro yang dipimpinnya
ada satu jam,
dua jam, tiga
jam bahkan adapula yang
meminta semalam suntuk.
Ini menunjukan bahwa
lamanya pertunjukan kesenian Hadro
tergantung pada kebutuhan.
Kesenian Hadro pada acara
mauludun ini dipertunjukkan di
sebuah ruangan GOR
Desa Bojong pada waktu siang hari dengan lamanya
pertunjukkan 1 jam.

Sebelum pertunjukan
kesenian Hadro dimulai,
biasanya terlebih dahulu mempersiapkan segala
hal yang diperlukan.
Persiapan tersebut meliputi
alat atau waditra
pengiring, koreografi, tata rias dan busana.
1.
Koreografi

2.
Tata rias dan Busana
Tata rias
berfungsi untuk memperkuat
ekspresi, perwatakan dan pembentukan wajah. Tetapi dalam hal ini
tata rias yang digunakan dalam kesenian Hadro
tidak terlalu menonjol.
Bahkan bisa disebut
sangat sederhana sekali. Karena tata
rias yang digunakan
adalah tata rias
yang digunakan adalah
tata rias dalam kehidupan
sehari-hari.
Adapun busana yang dipakai
dalam kesenian Hadro, yaitu:
Iket
Kain yang berbentuk segitiga
dengan cara pemakaiannya dililitkan terlebih dahulu lalu
dipasangkan di kepala,
ikatannya berbentuk silang
atau disebut juga dengan sebutan iket parengkos nangka.
Baju Kampret
Baju berlengan panjang
dengan warna putih dan memiliki kancing tengah.
Selendang
Kain yang
panjangnya kurang lebih
satu meter berwarna
merah. Cara pemakaian selendang
dililitkan didepan dada pada baju warna putih.
Celana Pangsi
Celana panjang yang
menggunakan warna putih atau hitam.
3.
Waditra Pengiring
Dalam suatu pertunjukan
kesenian Hadro waditra pengiring menjadi unsur yang penting
untuk menghidupkan suasana.
Pengertian waditra adalah
sebutan untuk alat musik
tradisional. Adapun waditra-waditra yang
digunakan dalam kesenian Hadro
adalah:
a. Terebang
Menurut Kamus Bahasa Sunda, terebang
nyaeta ngaran tatabeuhan make kulit saperti dog-dog ngan ceper, ilahar dipake
mirig lalaguan make bahasa Arab atawa
pasantren (LBSS, 1981:584),
artinya terebang adalah
nama alat musik yang
memakai kulit seperti
dog-dog hanya berbentuk
pipih, biasanya dipakai untuk mengiringi lagu-lagu dalam
bahasa Arab atau lagu-lagu pesantren.
Terebang yang digunakan
dalam kesenian Hadro
jumlahnya terdiri dari empat
buah. Keempat buah terebang tersebut
mempunyai nama masing-masing yaitu:
1.
Terebang Talingtit
Waditra terkecil yang
berperan sebagai pembawa
pangkat pada suatu pergelaran.
2.
Terebang Kempring
Waditra ini
berperan untuk menentukan
tempo, cepat atau
lambatnya permainan.
3.
Terebang Kompeang
Waditra ini berperan sebagai jenglong untuk mengiringi irama kempring.
4.
Terebang Bangsing
Waditra ini berperan sebagai goong kecil atau kempul.
b. Bajidor
Bajidor berbentuk bulat
seperti bedug dengan
diameter 60 cm.
Cara pemakaiannya dipukul dengan
pemukul khusus yang
terbuat dari kayu. Bajidor
berfungsi sebagai alat
komando untuk mengawali
dan mengakhiri lagu
pada kesenian Hadro.
c.
Terompet
Tarompet berfungsi sebagai pembawa melodi, pemberi ornamen pada lagu
dan dapat memperkuat
suasana khas dalam
pertunjukan kesenian Hadro.
Laras yang digunakan pada waditra tarompet adalah
laras salendro/nyalendro dan laras mataraman.
b.
Jalannya
Pertunjukkan
Setelah melaksanakan
tahapan persiapan di
atas, selanjutnya sebagai
jalannya penyajian kesenian
Hadro pada acara Mauludan yang
dilaksanakan di dalam ruangan
diawali dengan masuknya
penari kemudian disusul
oleh para penabuh sambil membawa
alat musik masing-masing. Biasanya penari berjajar di depan, sedangkan para
penabuh berada di belakang penari.
Lagu-lagu kesenian
Hadro yang biasa
disajikan pada acara mauludan ini terdapat
delapan lagu. Lagu-lagu
tersebut adalah lagu Bismillah, Assalamu, Sholawat, Nawaetu, Taqoballah,
Alfasallu, Hayu Badan dan lagu Sholu Robbuna.
Penyajian lagu-lagu
pada kesenian Hadro
memiliki urutan yang
baku seperti pada urutan lagu-lagu diatas. Hal tersebut disesuaikan
dengan makna syair yang terkandung dalam
lagu-lagu tersebut. Lagu-lagu
itu dinyanyikan oleh
para penabuh terebang, mereka
menggunakan gaya bernyanyi
seperti orang yang sedang
pupujian di mesjid
menjelang waktu sholat.
Pelaku kesenian Hadro tersebut tidak
memfokuskan pada teknik
vocal, tetapi mereka
lebih mengedepankan makna dari syair lagu yang dibawakan.
Dari delapan
lagu-lagu tersebut diantaranya
memiliki melodi yang
sama yaitu lagu Assalamu dengan
lagu Shalawat,dan lagu nawaetu. Tetapi
syair lagu yang dibawakan
berbeda dan disajikan
secara berulang-ulang sesuai
dengan kebutuhan.
c.
Akhir Pertunjukkan
Setelah selesai menyajikan
lagu-lagu, pertunjukan kesenian Hadro biasanya diakhiri dengan
pembacaan do’a yang
dipimpin oleh pimpinan
rombongan. Hal ini dilakukan
sebagai ucapan syukur
pada Allah SWT
yang telah memberikan kelancaran dalam proses
pertujukan.
C. Kesimpulan
Kesenian Hadro
merupakan kesenian tradisional
bernuansa Islam yang tumbuh
dan berkembang di
Desa Bojong Kecamatan
Bungbulang Kabupaten Garut sejak
tahun 1917 hingga saat ini. Lahir dan berkembangnya kesenian Hadro tidak lepas
dari tumbuh dan berkembangnya syiar agama Islam.
Pada mulanya kesenian ini
berdiri sebagai media untuk penyebaran agama Islam. Namun
pada saat ini
kesenian Hadro tidak
saja sebagai kesenian
untuk penyebaran agama Islam
tetapi juga sebagai
sarana hiburan bagi
masyarakat pendukungnya. Walaupun demikian, hal tersebut tidak merubah
nilai-nilai estetika yang terdapat dalam kesenian Hadro. Karena dari dahulu
hingga sampai sekarang, tidak
terjadi perubahan terhadap
melodi dan syair-syair
lagu dalam kesenian Hadro.
Syair-syair lagu
yang terdapat pada
kesenian Hadro diambil
dari sebuah kitab yang
bernama kitab Al-Barjanji.
Makna yang terkandung
dari lagu-lagu kesenian Hadro
mengandung pesan tentang ajaran agama
Islam. Banyaknya lagu yang
disajikan pada acara mauludan terdiri
dari delapan lagu
yaitu: lagu Bismillah, Assalamu,
Sholawat, Nawaetu, Taqoballahu,
Al-fasallu, Hayu Badan dan lagu Sollurobbuna.
Lagu-lagu tersebut dibawakan oleh seorang penyanyi solo (ngahadi) dan
kemudian diikuti secara rampak (saur).
Untuk mengiringi
lagu-lagu yang disajikan
pada kesenian Hadro digunakan empat
buah waditra terebang,
satu buah bajidor, dan
satu buah tarompet. Dari
sekian banyak waditra yang digunakan dalam penyajian kesenian Hadro
dapat disimpulkan bahwa: pola tabuh yang digunakan pada kesenian Hadro
terdiri dari empat
pola tabuh yaitu:
pola tabuh Banten, Cirebon, Bingbruk, dan Kincar.
Sumber :
Hidayana, Iip Sarip. 1997. Lagam
Salawat Cirebon. Bandung: STSI Bandung.
Kurnia, G
dan Nalan, A.
2003. Deskripsi Kesenian
Jawa Barat. Bandung: Disbudpar
Jawa Barat dan Pusat Dinamika Pembangunan UNPAD.
LBSS. 1981. Kamus Umum Basa Sunda.
Bandung: Teratai.
Madja, D.H.
Nurendah Hamiddi. 1996.
Seni Islami sebagai
Media Komunikasi. Buletin Kebudayaan Jawa Barat.
Poerwadarminta, WJS. 1984.
Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Soedarsono, R.M.
1999. Seni Pertunjukan
Indonesia di Era
Globalisasi. Bandung: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Sukrisnawanti, Diah
dan Samsuri Jari.
1993. Seni Sebagai
Media Pendidikan Islam. Jakarta:
Lembaga Pembinaan dan
Pengembangan Taman Kanak-kanak Al-Qur’an Badan Komunikasi Pemuda
Mesjid Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar