Kamis, 15 April 2010

CRACKING BAMBOO


Pada malam itu tepatnya hari rabu,malam kamis tgl 31 maret, hujan rintik-rintik turun di Utara Kota Bandung. Tetapi hal itu tidak menyurutkan masyarakat kota Bandung untuk menyaksikan pagelaran “Cracking Bamboo” malam itu. Pagelaran itu digelar di Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat atau yang sering dikenal juga Dago Tea House. Acara ini merupakan rangkaian pagelaran musik yang diadakan di beberapa Negara. Inti dari pergelaran yang diprakarsai Goethe Institut Bandung bekerja sama dengan Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, adalah menampilkan 60 musisi lebih dari 20 negara Asia dan Eropa. Ini merupakan upaya memadukan musik perkusi lintas benua yang diharapkan menghasilkan akulturasi musik modern dan tradisional. Konser ini menjem-batani antara musik Asia dan Eropa. Konser dengan memanfaatkan alat musik dengan dipukul akan menghasilkan jenis musik baru tak melulu pop, rock, RnB, atau lain-lainnya. Ini menjadi pertunjukan luar biasa bagi peminat musik.

Publik penikmat musik Kota Bandung sangat beruntung dapat menyaksikan Konser Perkusi/Percussion-Konzert bertajuk "Cracking Bamboo", karena Kota Bandung merupakan kota yang ditunjuk sebagai tempat pergelaran di Indonesia. Beberapa hari sebelumnya "Cracking Bamboo" digelar di Nguyen Thai Hoc, Thailand dan Hanoi Opera House Vietnam. Acara ini adalah salah satu pertunjukkan musik kontemporer yang menyajikan berbagai komposisi musik dari musisi-musisi dalam dan luar negeri. Seperti dari Vietnam, Kamboja, Mongolia, Eropa, dan tentunya dari tuan rumah Indonesia.

Acara yang di mulai dari pukul 19.30 WIB ini dibuka dengan musik gamelan yang dimainkan seniman dari Kyai Fattahilah, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung berjudul “Kulu-kulu 2004”. Begitu kental dengan nuansa etnik tradisi sunda tanah air dengan racikan pelog dan salendro ini dipimpin oleh salah satu komposer di Bandung, yaitu Iwan Gunawan yang kebetulan dosen saya sendiri. Pada waktu memainkan gamelan Kyai Fattahilah ada bagian dalam tiap waditra memainkan melodi secara bergantian. Setelah itu, penampilan pertama dari komponis asal Eropa, Sisu. Beranggotakan tiga pria bule mengenakan pakaian serbahitam memainkan alat musik simbal kecil. Karya tersebut di awali dengan bunyi-bunyian yang berasal dari vocal mereka sendiri, yang ditambah dengan hentakan kaki. Lalu di sambung dengan permainan alat musik simbal kecil yang dimainkan secara bersahut-sahutan. Penonton yang hampir memenuhi gedung kesenian berkapasitas 1.200 penonton dibuat sedikit mengerutkan kening. Permainan musik yang ditampilkan ketiga pria dengan gaya panggung atraktif membentuk tarian, menghadirkan musik yang sangat asing di telinga.

Kemeriahan suara yang semula berasal dari alat musik simbal kemudian berganti dengan dentuman serta gemericik alat musik Latin perkusi yang masih dimainkan ketiga musisi. Na-mun, penonton masih dihinggapi pertanyaan manakala seorang seniman wanita berambut ikal bernama Jong Ya menunjukkan ke-mahirannya membuat karya di atas media kertas panjang dengan menggunakan mulut yang hasilnya langsung digelar di anak tangga yang memisahkan kursi penonton.

Pada penampilan kedua, penonton disajikan musik yang agak berbeda. Karena penyaji kedua yang bernama Murat Coskun ini menampilkan musik bernuansa timur tengah. Dia memainkan alat musik yang mirip dengan rebana. Namun tidak hanya memainkan alat itu dengan dipukul. Namun terkadang dia memainkannya dengan cara di gosok. Sehingga menghasilkan suara yang berbeda.

Setelah itu dilanjutkan FrPercens & Klim Ngok mereka menampilkan komposisi musik yang mungkin saya sendiri baru saja melihatnya. Mereka menyajikan jenis musik kontemporer yang cukup abstrak. Karena dalam memainkannya mereka mungkin tidak memainkan birama dan tempo tertentu. Instrument musik yang mereka gunakan pun tidak hanya instrument musik seperti simbal ataupun biola. Tapi mereka juga menggunakan alat-alat seperti botol, sendok, parutan, peluit, dan lain-lain. Mereka juga memakai pakaian yang tidak biasa. Ada yang memakai pakaian pengantin, pakaian seperti dokter bedah, koki, penyelam, dan penari balet. Memang agak sulit untuk dimengerti sebenarnya apa yang mereka sampaikan. Namun tetap saja ini menjadi suatu sajian yang menarik untuk disaksikan.

Penampilan selanjutnya adalah kolaborasi antara pemusik dari Mongolia, Eropa, dan juga Indonesia. Kolaborasi yang dinamakan Percurama & co. ini menampilkan berbagai macam alat musik. Dari mulai perkusi yang berasal dari Mongol, sampai instrument kendang yang khas sunda. Komposisi ini juga menggunakan toleat, akkordion dan saxophone. Pertama, mereka memainkan perkusi dari Mongol. Lalu akkordian mulai berkolaborasi dengan toleat, kendang dan saxophone. Kemudian alat perkusi yang lainnya mulai mengikuti. Ketika semua alat musik sedang bermain, tiba-tiba muncul seseorang menampilkan sesuatu seperti tarian, sekaligus berperan sebagai konduktor. Dan karya itu diakhiri dengan klimaks yang sangat luar biasa.

Di atas panggung, kemeriahan semakin menjadi saat sejumlah musisi dari FrPercens & co. menampilkan kolaborasi antara musisi Mongol, Kamboja, Vietnam, dan juga Eropa. Di awali dengan bunyi terompet yang merdu, dilanjutkan dengan nyanyian asal Vietnam. Sesekali terdengar suara dari alat musik yang mirip rebana. Lalu seorang lelaki dengan hanya berbalut celana dalam saja yang membuat penonton nampak heboh, menyanyi dengan lantangnya menggunakan suara leher. Setelah itu, ada wanita yang bernyanyi dengan menggunakan teknik vibrasi yang cukup banyak, dan di selingi dengan suara leher dari laki-laki yang sebelumnya. Dilanjutkan dengan suara gendang yang mirip rebana, dituturi dua wanita yang memainkan alat musik petik, dan diakhiri dengan tabuhan perkusi dan juga permainan seluruh alat musik yang digunakan.

Di antara kejutan-kejutan musik yang dimainkan para musisi ini, penonton terus dibuat bertanya akan suguhan musik yang hadir. Namun, suguhan musik yang ditampilkan cukup menghibur. Dan sampailah pada puncak penampilan terakhir dari Sisu & Recensconservatory-HCMC. Yang memadukan musik perkusi modern dengan alat-alat dapur seperti ember yang diisi dengan air dan juga selang. Selain itu ada juga yang membunyikan suara musik yang dihasilkan dari gelas Kristal yang digesekan pada bow biola.

Secara keseluruhan, acara yang diselenggarakan atas kerjasama dari Dago Tea House, Universitas Pendidikan Indonesia, dan juga Goethe-Institut Indonesian ini berjalan dengan lancar. Karena penonton yang datang juga cukup banyak. Sehingga hamper tidak ada bangku yang kosong, karena mungkin tempatnya tidak terlalu besar seperti halnya sabuga jadi saya melihat banyak orang yang jongkok di depan agak samping. Dan sayangnya acara tersebut dibawakan dalam Bahasa Inggris dan tidak menggunakan penerjemah. Sehingga hampir tidak ada sebagian orang yang tidak mengerti apa maksud dan makna dari setiap karya yang disajikan malam itu. Dan maknanya pun seperti kurang tersampaikan kepada penonton. Selain itu, acara seperti ini jarang sekali diadakan di Indonesia, terutama di Bandung. Sehingga orang belum begitu mengerti tentang apa itu musik kontemporer. Oleh karena itu, acara serupa harus lebih banyak diadakan. Agar orang-orang bisa lebih mengenal dan memahami musik kontemporer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar