Sebenernya ni banyak kebingungan kalau disuruh buat nge'kritik', kayaknya lebih ke feedback ilustrasi aja buat ngasih tanggapan bukunya Pak Fx. Widaryanto., M.A yang judulnya 'Menuju Representasi Dunia Dalam' halaman 181-185 subjudulnya "Bencana, Empati, dan Kepedulian". Kita intip yuk!!
Pada
suatu hari Ujang mendengar bahwa ada seorang tuan tanah yang bernama Juragan
Acep hendak mengobral tanahnya dengan harga murah. Ujang merasa tertarik untuk
membeli tanah itu. Ia berpikir tanah yang akan dibelinya ini akan diolah dan
ditanami dengan tanaman produktif, dan ia bisa menjadi orang yang kaya dan
terpandang di desanya.
“Berapa
harga tanah yang akan kau jual..?” tanya Ujang.
“Apa..? Harga tanah..?” jawab Juragan Acep.
“Ya..
aku tertarik untuk memiliki tanah yang kau tawarkan..!” kata Ujang.
“Ah..
hanya seribu rupiah sehari..!” tukas Juragan Acep.
“Ha..!?
Yang benar kau bicara..! Berapa harganya..?” kata Ujang kebingungan akan harga
yang ditawarkan.
“Ya..
Saya tidak menghitung harga tanah dengan cara seperti yang biasa kamu pikirkan..!”
jawab Juragan Acep.
“Lho..
bukankah harga tanah dihitung dalam meter persegi..?” tanya Ujang.
“Oooh..
Saya akan menjual menurut selebar tanah yang dapat kamu kelilingi selama satu
hari penuh.. ya.. sehari penuh tanpa berhenti.. tidak boleh beristirahat barang
sejenak..” jawab Juragan Acep.
“Apa..?!
jangan mempermainkan aku..!” kata Ujang.
“Ya..
ya.. Saya hanya menjual selebar kesanggupan Kamu mengelilingi tanahku sehari
penuh tanpa berhenti.. itulah ukuran yang perlu kamu bayar.. hanya seribu
rupiah..!” kata Juragan Acep.
“Haaa..
haa.. ha.. Aku pasti dapat mengelilingi tanahmu seluas-luasnya.. Kau harus
menyerahkan tanahmu itu setelah aku bayar seribu rupiah..!” jawab Ujang penuh
semangat dan terheran-heran.
“Ya..
Saya tunggu besok pagi.. tepat matahari terbit Kamu harus mulai mengelilingi
tanahku selebar kesanggupanmu..” kata Juragan Acep.
Pada
malam harinya Ujang tidak dapat tidur nyenyak, Ia hanya membayangkan bahwa
sebentar lagi akan menjadi orang yang kaya raya serta terpandang di desanya. Angan-angan
telah mengalahkan nalarnya, seharusnya ia mempersiapkan diri untuk esok pagi.
“Disini
saya memberi sebuah patok kayu, sebagai tanda dimulai.. apabila matahari terbenam
kamu harus sudah tiba kembali tepat di sini.. itu berarti semua tanah yang
telah kamu kelilingi menjadi milikmu..!” kata Juragan Acep pada pagi harinya.
Ujang
mulai dengan ambisinya. Ia tidak berjalan dengan pelan-pelan, tetapi dengan
penuh semangat dan tergesa-gesa, bahkan kadang-kadang berlari. Ia tidak
menghiraukan panas terik matahari. Dalam benak pikirannya hanya satu, sebentar
lagi ia akan kaya-raya, semua orang di desa akan menghormatinya. Satu jam.. dua
jam.. tiga jam.. dan seterusnya berlalu dengan cepatnya. Ujang berusaha dengan
sekuat tenaga dan secepat mungkin utnuk berjalan dan berlari. Makan dan minum
pun dilakukan sambil berjalan. Bekal persediaan makanan dan minuman
disangkutkan di punggung dan pinggangnya. Yang dipikirkan dan yang dilihat Ujang
hanya tanah-tanah yang subur yang akan jadi miliknya, sungai-sungai jernih yang
akan mengairi ladangnya.
Sementara
itu di beberapa tempat terlihat para saksi dan teman-teman Ujang. Ada yang
menyemangati dan ada pula yang memberi arahan untuk bersabar. Ujang tidak
menghiraukannya. Lihatlah, sudah begitu luas tanah yang dilalui Ujang, dan
sekarang Ujang terlihat sudah sangat kelelahan. Kakinya mulai lecet dan
berdarah. Ia seperti tidak sanggup lagi. Matahari sudah hampir terbenam. Agar tidak
hilang kesempatan yang sudah hampir digenggamnya, Ujang segera berlari menuju
patok tanda dimulainya tadi. Ujang berlari.. berlari.. dan terus berlari
berpacu dengan matahari yang mulai menyelinap di ufuk barat. Tepat pada saat
matahari tenggelam diufuk barat Ujang berhasil tiba pada patokan tadi, tetapi
ia lunglai.. terjatuh.. dan.. menghembuskan nafas terakhir.
“Ah..
anak muda.. anak muda.. engkau telah memenangkan banyak tanah hari ini.. namun sayang
nyawamu telah terenggut karena kerakusan, ketamakan dan nafsumu..!” gumam
Juragan Acep.
Teman-teman
Ujang kemudian mengambil sebuah sekop dan cangkul untuk menggali lubang yang
berukuran satu meter kali dua meter untuk menguburnya, mengubur Ujang bersama
kerakusan, ketamakan dan nafsunya.
Limbuk: “Tragis..
ceritamu sungguh tragis..! Itu pelajaran bagi anak-anak muda.. agar dalam
menggapai keinginan.. kehendak dan cita-cita.. hendaknya mempersiapkan diri..
mengukur diri.. tidak mementingkan diri sendiri.. dan yang lebih penting tidak
rakus atau tamak..”
Togog: “Ya..
ternyata Limbuk tanggap akan cerita ini.. cerita yang aku adaptasi dari
novelnya pujangga Rusia, Leo Tolstoy, yang berjudul Berapa Luaskah Tanah Yang Diperlukan Seseorang? Cerita ini termuat
dalam kumpulan ceritanya yang berjudul Tuhan
Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu. Coba perhatikan, bukankah perjuangan anak muda
tadi begitu sia-sia..? Ini pelajaran, seluas apapun tanah yang dicari.. seluas
apapun tanah yang dimiliki.. akhirnya.. hanya dua meter persegi tanah yang
diperoleh.. yaitu untuk makamnya saja..?”
Cangik: “Aduh..
merinding aku dengar cerita tadi.. itulah cermin seseorang yang mementingkan
diri sendiri, tidak mendahulukan yang lainnya.. Anak muda dalam cerita tadi
telah silau akan kehidupan dunia.. tertipu dengan kilaunya dunia.. Namun, kalau
kita berkaca serta melihat sekeliling kita.. sebetulnya tidak hanya anak muda
itu yang sering tertipu.. tetapi begitu banyak orang yang tertipu akan kehidupan
dunia. Mereka berlebihan dalam mencintai harta. Banyak diantara kita tidak
mempedulikan aturan main.. semua aturan main disingkirkan.. tidak melihat lagi
antara halal dan haram.. semua ditelan mentah-mentah.. semua teman, saudara
yang menghalangi disingkirkan.. dijungkirkan.. dan ditendang..! Ah.. bukankah
dunia ini dari ujung ke ujung hanyalah permainan dan pertunjukkan yang
menyilaukan saja..?”
Ki Dalang: “Ha…
haaa.. haa.. kamu mengatakan anak muda dalam cerita tadi telah silau akan
kehidupan dunia..? Ha.. haa.. haaa.. zaman sekarang ini yang sering mengalami
silau adalah para penggede.. ya para
pemimpin. Mereka silau karena sering disorot lampu yang terang agar bawahan
bisa melihat dengan jelas, dan mereka menepuk dada, inilah Aku Sang Atasan..
lampu sorot agar mereka bisa masuk media bak selebritis.. Mereka tidak mau dan
tak mampu lagi menyingkir dari silau lampu sorot itu.. Semakin sering disorot
lampu, semakin silau matanya.. Silau-silau itu sudah sering menerpa mereka..
sehingga mereka tidak bisa dengan jelas mengetahui apa yang dilihatnya.. apa
yang ada di depannya.. Semua dilanggar, semua diterjang.. Mereka baru sadar dan
terkaget-kaget kalau sudah ada yang menggonggong.. yang diterjangnya.. ternyata
adalah herder tetangga..!”
mBilung: “Iya
Dal.. metaforamu sungguh indah.. Kamu bener.. masih mending kalau hanya
digonggong herder.. Dal.. ingat Dal.. sebenarnya.. kita semua ini mempunyai
nafsu.. polah tingkah kita ini tergantung jenis nafsu atau macam nafsu mana
yang paling mendominasi atau menguasai diri ini.. dan bagaimana menerapkan atau
menyalurkannya.. bukankah begitu Gog..?”
Togog: “Memang..
sebenarnya dalam diri setiap orang itu ada empat macam nafsu: nafsu ingin
berbuat baik.. nafsu birahi.. nafsu marah.. dan nafsu ingin menelan apa saja.
Nafsu-nafsu ini sebenarnya diperlukan bagi kita semua.. tidak bisa
dihilangkan.. tetapi harus dapat dikendalikan.. dan kita harus dapat menerapkan
dengan baik dan benar agar kita tetap jadi manusia seutuhnya..!”
Cangik: “Gog..
Aku mau tanya.. apakah sifat altruis atau
lebih mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri itu
bisa menghindari sifat tamak dan rakus..?”
Togog: “Kamu
bener.. dalam kondisi dan situasi kehidupan yang teratur dan membangun, sifat
altruis itu sangat dibutuhkan untuk terjaganya harmoni kehidupan.. contoh..
sifat ini harus diterapkan seperti pada saat orang-orang berbondong-bondong
mudik ke kampung halamannya untuk berlebaran.. Mereka harus saling
tolong-menolong.. bantu membantu.. saling berbagi.. Namun dalam kondisi dan
situasi yang edan.. di mana semuanya serba edan.. serba ganas.. serba rakus..
serba korup, sifat egois atau lebih mementingkan diri sendiri sangat
diperlukan, Agar Kita Tidak Hanyut Dalam Arus keEdanan.. Agar Kita Tidak diTelan
keGanasan atau keRasukan.. Agar Kita Tidak Tergiur Ikutan Korup.. sehingga kita
Tetap Bisa Survive..!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar