Senin, 10 September 2012

Feedback Buku ‘Menuju Representasi Dunia Dalam’ halaman 181-185,"Bencana, Empati, dan Kepedulian"


 Sebenernya ni banyak kebingungan kalau disuruh buat nge'kritik', kayaknya lebih ke feedback ilustrasi aja buat ngasih tanggapan bukunya Pak Fx. Widaryanto., M.A yang judulnya 'Menuju Representasi Dunia Dalam' halaman 181-185 subjudulnya "Bencana, Empati, dan Kepedulian". Kita intip yuk!!
Pada suatu hari Ujang mendengar bahwa ada seorang tuan tanah yang bernama Juragan Acep hendak mengobral tanahnya dengan harga murah. Ujang merasa tertarik untuk membeli tanah itu. Ia berpikir tanah yang akan dibelinya ini akan diolah dan ditanami dengan tanaman produktif, dan ia bisa menjadi orang yang kaya dan terpandang di desanya.
“Berapa harga tanah yang akan kau jual..?” tanya Ujang.
 “Apa..? Harga tanah..?” jawab Juragan Acep.
“Ya.. aku tertarik untuk memiliki tanah yang kau tawarkan..!” kata Ujang.
“Ah.. hanya seribu rupiah sehari..!” tukas Juragan Acep.
“Ha..!? Yang benar kau bicara..! Berapa harganya..?” kata Ujang kebingungan akan harga yang ditawarkan.
“Ya.. Saya tidak menghitung harga tanah dengan cara seperti yang biasa kamu pikirkan..!” jawab Juragan Acep.
“Lho.. bukankah harga tanah dihitung dalam meter persegi..?” tanya Ujang.
“Oooh.. Saya akan menjual menurut selebar tanah yang dapat kamu kelilingi selama satu hari penuh.. ya.. sehari penuh tanpa berhenti.. tidak boleh beristirahat barang sejenak..” jawab Juragan Acep.
“Apa..?! jangan mempermainkan aku..!” kata Ujang.
“Ya.. ya.. Saya hanya menjual selebar kesanggupan Kamu mengelilingi tanahku sehari penuh tanpa berhenti.. itulah ukuran yang perlu kamu bayar.. hanya seribu rupiah..!” kata Juragan Acep.
“Haaa.. haa.. ha.. Aku pasti dapat mengelilingi tanahmu seluas-luasnya.. Kau harus menyerahkan tanahmu itu setelah aku bayar seribu rupiah..!” jawab Ujang penuh semangat dan terheran-heran.
“Ya.. Saya tunggu besok pagi.. tepat matahari terbit Kamu harus mulai mengelilingi tanahku selebar kesanggupanmu..” kata Juragan Acep.
Pada malam harinya Ujang tidak dapat tidur nyenyak, Ia hanya membayangkan bahwa sebentar lagi akan menjadi orang yang kaya raya serta terpandang di desanya. Angan-angan telah mengalahkan nalarnya, seharusnya ia mempersiapkan diri untuk esok pagi.
“Disini saya memberi sebuah patok kayu, sebagai tanda dimulai.. apabila matahari terbenam kamu harus sudah tiba kembali tepat di sini.. itu berarti semua tanah yang telah kamu kelilingi menjadi milikmu..!” kata Juragan Acep pada pagi harinya.
Ujang mulai dengan ambisinya. Ia tidak berjalan dengan pelan-pelan, tetapi dengan penuh semangat dan tergesa-gesa, bahkan kadang-kadang berlari. Ia tidak menghiraukan panas terik matahari. Dalam benak pikirannya hanya satu, sebentar lagi ia akan kaya-raya, semua orang di desa akan menghormatinya. Satu jam.. dua jam.. tiga jam.. dan seterusnya berlalu dengan cepatnya. Ujang berusaha dengan sekuat tenaga dan secepat mungkin utnuk berjalan dan berlari. Makan dan minum pun dilakukan sambil berjalan. Bekal persediaan makanan dan minuman disangkutkan di punggung dan pinggangnya. Yang dipikirkan dan yang dilihat Ujang hanya tanah-tanah yang subur yang akan jadi miliknya, sungai-sungai jernih yang akan mengairi ladangnya.
Sementara itu di beberapa tempat terlihat para saksi dan teman-teman Ujang. Ada yang menyemangati dan ada pula yang memberi arahan untuk bersabar. Ujang tidak menghiraukannya. Lihatlah, sudah begitu luas tanah yang dilalui Ujang, dan sekarang Ujang terlihat sudah sangat kelelahan. Kakinya mulai lecet dan berdarah. Ia seperti tidak sanggup lagi. Matahari sudah hampir terbenam. Agar tidak hilang kesempatan yang sudah hampir digenggamnya, Ujang segera berlari menuju patok tanda dimulainya tadi. Ujang berlari.. berlari.. dan terus berlari berpacu dengan matahari yang mulai menyelinap di ufuk barat. Tepat pada saat matahari tenggelam diufuk barat Ujang berhasil tiba pada patokan tadi, tetapi ia lunglai.. terjatuh.. dan.. menghembuskan nafas terakhir.
“Ah.. anak muda.. anak muda.. engkau telah memenangkan banyak tanah hari ini.. namun sayang nyawamu telah terenggut karena kerakusan, ketamakan dan nafsumu..!” gumam Juragan Acep.
Teman-teman Ujang kemudian mengambil sebuah sekop dan cangkul untuk menggali lubang yang berukuran satu meter kali dua meter untuk menguburnya, mengubur Ujang bersama kerakusan, ketamakan dan nafsunya.

Limbuk: “Tragis.. ceritamu sungguh tragis..! Itu pelajaran bagi anak-anak muda.. agar dalam menggapai keinginan.. kehendak dan cita-cita.. hendaknya mempersiapkan diri.. mengukur diri.. tidak mementingkan diri sendiri.. dan yang lebih penting tidak rakus atau tamak..”
Togog: “Ya.. ternyata Limbuk tanggap akan cerita ini.. cerita yang aku adaptasi dari novelnya pujangga Rusia, Leo Tolstoy, yang berjudul Berapa Luaskah Tanah Yang Diperlukan Seseorang? Cerita ini termuat dalam kumpulan ceritanya yang berjudul Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu. Coba perhatikan, bukankah perjuangan anak muda tadi begitu sia-sia..? Ini pelajaran, seluas apapun tanah yang dicari.. seluas apapun tanah yang dimiliki.. akhirnya.. hanya dua meter persegi tanah yang diperoleh.. yaitu untuk makamnya saja..?”
Cangik: “Aduh.. merinding aku dengar cerita tadi.. itulah cermin seseorang yang mementingkan diri sendiri, tidak mendahulukan yang lainnya.. Anak muda dalam cerita tadi telah silau akan kehidupan dunia.. tertipu dengan kilaunya dunia.. Namun, kalau kita berkaca serta melihat sekeliling kita.. sebetulnya tidak hanya anak muda itu yang sering tertipu.. tetapi begitu banyak orang yang tertipu akan kehidupan dunia. Mereka berlebihan dalam mencintai harta. Banyak diantara kita tidak mempedulikan aturan main.. semua aturan main disingkirkan.. tidak melihat lagi antara halal dan haram.. semua ditelan mentah-mentah.. semua teman, saudara yang menghalangi disingkirkan.. dijungkirkan.. dan ditendang..! Ah.. bukankah dunia ini dari ujung ke ujung hanyalah permainan dan pertunjukkan yang menyilaukan saja..?”
Ki Dalang: “Ha… haaa.. haa.. kamu mengatakan anak muda dalam cerita tadi telah silau akan kehidupan dunia..? Ha.. haa.. haaa.. zaman sekarang ini yang sering mengalami silau adalah para penggede.. ya para pemimpin. Mereka silau karena sering disorot lampu yang terang agar bawahan bisa melihat dengan jelas, dan mereka menepuk dada, inilah Aku Sang Atasan.. lampu sorot agar mereka bisa masuk media bak selebritis.. Mereka tidak mau dan tak mampu lagi menyingkir dari silau lampu sorot itu.. Semakin sering disorot lampu, semakin silau matanya.. Silau-silau itu sudah sering menerpa mereka.. sehingga mereka tidak bisa dengan jelas mengetahui apa yang dilihatnya.. apa yang ada di depannya.. Semua dilanggar, semua diterjang.. Mereka baru sadar dan terkaget-kaget kalau sudah ada yang menggonggong.. yang diterjangnya.. ternyata adalah herder tetangga..!”
mBilung: “Iya Dal.. metaforamu sungguh indah.. Kamu bener.. masih mending kalau hanya digonggong herder.. Dal.. ingat Dal.. sebenarnya.. kita semua ini mempunyai nafsu.. polah tingkah kita ini tergantung jenis nafsu atau macam nafsu mana yang paling mendominasi atau menguasai diri ini.. dan bagaimana menerapkan atau menyalurkannya.. bukankah begitu Gog..?”
Togog: “Memang.. sebenarnya dalam diri setiap orang itu ada empat macam nafsu: nafsu ingin berbuat baik.. nafsu birahi.. nafsu marah.. dan nafsu ingin menelan apa saja. Nafsu-nafsu ini sebenarnya diperlukan bagi kita semua.. tidak bisa dihilangkan.. tetapi harus dapat dikendalikan.. dan kita harus dapat menerapkan dengan baik dan benar agar kita tetap jadi manusia seutuhnya..!”
Cangik: “Gog.. Aku mau tanya.. apakah sifat altruis atau lebih mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri itu bisa menghindari sifat tamak dan rakus..?”
Togog: “Kamu bener.. dalam kondisi dan situasi kehidupan yang teratur dan membangun, sifat altruis itu sangat dibutuhkan untuk terjaganya harmoni kehidupan.. contoh.. sifat ini harus diterapkan seperti pada saat orang-orang berbondong-bondong mudik ke kampung halamannya untuk berlebaran.. Mereka harus saling tolong-menolong.. bantu membantu.. saling berbagi.. Namun dalam kondisi dan situasi yang edan.. di mana semuanya serba edan.. serba ganas.. serba rakus.. serba korup, sifat egois atau lebih mementingkan diri sendiri sangat diperlukan, Agar Kita Tidak Hanyut Dalam Arus keEdanan.. Agar Kita Tidak diTelan keGanasan atau keRasukan.. Agar Kita Tidak Tergiur Ikutan Korup.. sehingga kita Tetap Bisa Survive..!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar