Senin, 10 September 2012

KESENIAN HADRO PANCA MUSTIKA


       A.        Latar Belakang
Jawa Barat adalah salah satu daerah di Indonesia yang kaya akan kesenian tradisional,  kurang  lebih  terdapat  65  macam  kesenian  tradisional  yang  masih hidup  dan  berkembang  di  Jawa  Barat.  Dari  sekian  banyak  kesenian  tradisional yang ada di Jawa Barat tersebut, pada umumnya tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan lingkungan sosial budaya masyarakat sekitarnya, salah satu contohnya seperti kesenian tradisional Hadro.
Hadro  adalah  salah  satu  kesenian  tradisional  yang  tumbuh  dan berkembang  di  Desa  Bojong  Kecamatan  Bungbulang  Kabupaten  Garut. Masyarakat  Desa  Bojong  boleh  berbangga  hati  karena  meskipun  keseniaannya berada  pada  kondisi  yang  kurang  menguntungkan,  tapi  kesenian  Hadro  di  Desa Bojong  tetap  tegar,  perkasa  dan  memperlihatkan  kemandirian.  Kesenian  Hadro sudah  hidup  sejak  puluhan  tahun  lalu  sebagai  warisan  dari  para  leluhur  yang sekarang masih tetap terjaga.
Lahir  dan  berkembangnya  kesenian  Hadro  tidak  lepas  dari  tumbuh  dan berkembangnya  syiar  agama  Islam.  Orang  yang  pertama  kali  memperkenalkan kesenian  Hadro  ini  adalah  seorang  Kyai  Haji  Ahmad  Sayuti,  Pak  Sura  dan  Pak Sastra  yang  berasal  dari  Kampung  Tanjung  Singuru  Kecamatan  Samarang Kabupaten  Garut  pada  tahun  1917.  Pada  awalnya  kesenian  Hadro  hanya  sebatas lingkungan pesantren saja. Bagi para santri hal tersebut sudah menjadi kebiasaan yang  harus  dilakukan  setelah  mereka  mendapatkan  ilmu  tentang  agama  Islam. Kegiatan  tersebut  bertujuan  untuk  lebih  percaya  serta  mensyukuri  atas  nikmat yang  diberikan  oleh  Sang  Maha  Pencipta-Nya.  (Hasanudin,  wawancara  Januari 2010).
Mereka  pun  belajar  ayat-ayat  Al-Qur’an  dari  kitab  Al-Barjanji,  yang dipakai  dalam  kesenian  Hadro  untuk  melantunkan  pujian-pujian  yang  isinya mengagungkan  Allah  SWT  dengan  segala  ciptaan-Nya.  Dengan  keuletan  KH. Ahmad  Sayuti  dan  Pak  Sura  dalam  menarik  perhatian  masyarakat  agar  berminat  dan  berkeinginan  untuk  mempelajari  Bahasa  Arab  sebagai  permulaan  memeluk agama  Islam,  maka  dilakukannya  dengan  media  kesenian  yaitu  kesenian  Hadro yang di dalamnya membahas komunikasi dengan menggunakan kata-kata Bahasa Arab (Hasanudin, wawancara Januari 2010).
Apabila  melihat  pendapat  di  atas,  sebagai  perwujudan  gagasan  KH. Ahmad  Sayuti  dan  Pak  Sura,  maka  kesenian  Hadro  lah  yang  dijadikan  sebagai media  syiar  agama  Islam  untuk  bisa  diterima  oleh  masyarakatnya.  Dengan demikian  mereka  akan  bisa  melihat,  mendengar  dan  merasakan  kesenian  Hadro tersebut,  sehingga  mereka  tertarik  untuk  mempelajari  agama  Islam.  Secara  tidak langsung  juga  dengan  adanya  kesenian  Hadro    untuk  taat  terhadap  ajaran  agama berdasarkan kaidah agama Islam.
Hadro adalah satu jenis kesenian tradisional yang dipadukan dengan seni bela  diri  sebagai  kebanggaan  masyarakat  Desa  Bojong.  Kesenian  tradisional Hadro  senantiasa  tampil  dalam  setiap  kesempatan,  baik  pada  upacara  hari  besar  Nasional    maupun  acara-acara  penting  di  tingkat  desa,  kecamatan,  kabupaten bahkan  tingkat  provinsi.  Di  samping  itu  ditampilkan  pula  dalam  acara perkawinan,  khitanan,  pesta  adat  menyambut  datang  panen  dan  dalam  acara keagamaan  seperti  dalam  rangka  memperingati  Maulud  Nabi  Muhammad  SAW yang disebut Muludan, Rajaban dan dalam acara keagamaan lainnya.
Kesenian  tradisional  Hadro  pada  acara  Muludan  sangat  menarik  apabila diamati dan ditelusuri secara lebih jelas. Karena kesenian Hadro menyajikan lirik-lirik  indah  bernafaskan  pujian  kepada  Tuhan,  dan  sajak-sajak  indah  sebagai  satu tanda  rasa  cinta  kasih  kepada  Rasulullah  SAW.  Lagu-lagu  pada  kesenian  Hadro memiliki urutan penyajian yang baku begitu pula dengan pola tabuhnya. Kesenian Hadro juga menampilkan gerak dan gaya yang harmonis dalam penyajiannya.
Kesenian tradisional Hadro mengandung berbagai kesan bagi masyarakat Desa  Bojong.  Jadi  sayang  sekali  bila  kesenian  Hadro  diabaikan  tanpa  ada kelanjutan  dan  perkembangan.  Karena  mungkin  suatu  saat  akan  terlupakan  dari masyarakat  setempat  maupun  dari  pihak  yang  peduli  terhadap  kesenian  tersebut. Oleh karena itu, penelitian Hadro layak dilakukan untuk melestarikan kebudayaan tersebut.
      B.     Tinjauan Teoritis tentang Kesenian Hadro
      1.      Kesenian Tradisional
Kesenian  merupakan  salah  satu  unsur  kebudayaan  yang  terbentuk  dari hasil  kreativitas  dan  inovasi  masyarakat  dan  lingkungannya.  Kesenian  tersebut kemudian  diwujudkan  ke  dalam  berbagai  bentuk  dan  raga,  baik  tradisional maupun non tradisional atau kreasi baru.
Kesenian  tradisional  lahir  dari  budaya  masyarakat  terdahulu  di  suatu daerah tertentu yang terus berkembang secara turun temurun, dan terus dinikmati oleh generasi penerusnya. Seperti diungkapkan oleh Yoeti (1985:2) bahwa: “Seni budaya tradisional adalah seni budaya yang sejak lama turun temurun telah hidup dan  berkembang  pada  suatu  daerah  tertentu.”  Penjelasan  tersebut  menunjukan bahwa  yang  menjadi  ciri  kesenian  tradisional  adalah  adanya  sistem  pewarisan yang dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Mengenai  kesenian  tradisional  Kosim  dalam  Masunah  (1985:131) mengungkapkan bahwa:
“Kesenian tradisional adalah satu bentuk seni yang bersumber dan berakar serta  telah  dirasakan  sebagian  milik  sendiri  oleh  masyarakat  dan lingkungannya. Pengolahannya berdasarkan cita rasa masyarakat pendukungnya.  Cita  rasa  disini  mempunyai  pengertian  yang  luas,  termasuk nilai  kehidupan  tradisi  pandangan  hidup,  pendekatan  falsafah,  rasa  etis  dan estetis serta ungkapan budaya lingkungan, hasil kesenian tradisional biasanya diterima  sebagai  tradisi  pewarisan  yang  dilimpahkan  dari  angkatan  tua  ke angkatan muda.”

Dari  uraian  di  atas  dapat  disimpulkan  bahwa  kesenian  tradisional merupakan  salah  satu  seni  budaya  yang  lahir  dari  kebudayaan  masyarakat sebelumnya,  yang  berkembang  terus-menerus  sehingga  kesenian  tradisional tersebut  kemudian  diwariskan  secara  turun  temurun  dari  generasi  ke  generasi berikutnya dan dengan adanya proses kreasi yang terus menerus agar kesenian ini dapat tetap lestari, tetapi tidak mengubah keaslian dari seni tradisional tersebut.
      2.      Kesenian Tradisional Hadro
Kesenian  tradisional  pada  umumnya  tumbuh  dan  berkembang  sejalan dengan  perkembangan  lingkungan  sosial  budaya  masyarakat  sekitarnya. Berdasarkan  pada  uraian  tersebut,  di  Desa  Bojong  Kecamatan  Bungbulang Kabupaten  Garut  terdapat  satu  jenis  kesenian  tradisional  yang  sampai  sekarang masih  tetap  terjaga  kelestariannya.  Kesenian  tradisional  tersebut  adalah  kesenian tradisional Hadro.
Kesenian  tradisional  Hadro  tersebut  sudah  hidup  sejak  puluhan  tahun, sebagai  warisan  dari  para  leluhur.  Sebagai  data  otentik  tentang  hal  ini  dapat dibuktikan  melalui  cerita  dari  para  tokoh  kesenian  tersebut.  Pada  hakekatnya setiap  peregenerasian  atau  pelestarian  kesenian  Hadro  dilakukan  secara  turun temurun  dengan  budaya  lisan,  tanpa  adanya  pengembangan  seni  secara  kualitas. (Hasanudin, wawancara Januari 2010)
Menurut  pendapat  umum Hadro  adalah  jenis  kesenian  tradisional. Sedangkan  menurut  Kamus  Umum  Bahasa  Sunda  ”Hadro          nyaeta  ngaran tatabeuhan nu diwangun ku terebang opat jeung kendang hiji” (LBSS, 1981:159). Terjemahannya  Hadro  adalah  nama  alat  musik  yang  terdiri  dari  empat  buah terebang  dan  satu  buah  kendang.  Istilah  Hadro  berasal  dari  bahasa  Arab  yaitu ”Hadrah  yang  artinya  hadir. Maksudnya  mendekatkan  diri  kepada  Allah  SWT dan  Nabi  Muhammad saw  dengan  menggunakan  media  kesenian Hadro. (Hasanudin, wawancara Januari 2010)
Menurut  Bapak  Hasanudin  (Ketua  Grup  Kesenian  Hadro  Panca  Mustika Desa Bojong) Hadro artinya hadir. Hadir di sini maksudnya dalam diri seseorang  harus  hadir  rasa  cinta  dan  keyakinan  terhadap  Allah  SWT  dan  Nabi  Muhammad saw  sebagai  Rasul-Nya.  Oleh  sebab  itu,  dengan  sering  hadirnya  lagu-lagu  yang berisikan  ajaran  agama  Islam  dan  keteladanan  Nabi  Muhamad  saw  dalam pertunjukan  kesenian  Hadro,  diharapkan  lambat  laun  apresiator  memahami  dan mengerti  tentang  ajaran  agama  Islam.  (Bapak  Hasanudin,  wawancara  Januari  2010)
Pengertian  Hadro  dalam  penelitian  ini  lebih  terarah  pada  pengertian  yang pertama,  yaitu  nama  salah  satu  jenis  kesenian  tradisional.  Jadi  yang  dimaksud dengan  kesenian  Hadro  dalam  penelitian  ini  adalah  jenis  kesenian  tradisional yang  terbentuk  atas  empat  buah  terebang,  satu  buah  bajidor,  dan  satu  buah terompet yang dalam penyajiannya waditera tersebut digunakan untuk mengiringi tarian dan lagu-lagu berbahasa Arab yang diambil dari Kitab Al-Barjanji.

      3.      Kesenian Hadro Pada Masyarakat Desa Bojong
Setiap  kesenian  yang  berada  di  tengah  masyarakat,  baik  tradisional maupun  non  tradisional  memiliki  peranan  yang  sangat  penting  bagi  masyarakat pendukungnya.  Dengan  kata  lain  dapat  dikatakan  bahwa  kehadiran  kesenian  di tengah-tengah  para  pendukungnya  memiliki  arti  penting  bagi  kehidupannya sehari-hari.  Tidak  mungkin  suatu  bentuk  kesenian  itu  ada  di  tengah-tengah masyarakat tanpa memiliki peranan yang penting bagi masyarakatnya.
Berkenaan  dengan  peranan  kesenian  tersebut  di  atas,  peneliti  akan mencoba memaparkan tentang peranan dari kesenian Hadro bagi masyarakat Desa Bojong  Kecamatan  Bungbulang  Kabupaten  Garut.  Pada  saat  sekarang  kesenian Hadro  memiliki  dua  peranan  bagi  masyarakatnya  yaitu  sebagai  sarana  upacara keagamaan dan sebagai sarana hiburan.

a.   Kesenian Hadro sebagai Sarana Upacara Keagamaan
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa  Hadro adalah bentuk kesenian tradisional  yang hidup dan berkembang di tatar Jawa Barat dimana penyajiannya didukung  dengan  empat  buah instrumen  terebang,  satu  buah  bajidor  dan  satu buah  tarompet  sebagai  pelengkap  serta  menggunakan  syair-syair  berbahasa  Arab yang diambil dari Kitab Al-Barjanji.
Dari  berbagai  syair  yang  diucapkan  oleh  para  penyanyi  dan  disajikan dalam bahasa Arab, maka kita bisa mengambil suatu kesimpulan bahwa kesenian Hadro merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional yang bernafaskan Islam.
Pada  umumnya,  kehadiran  kesenian  tradisional  yang  bernafaskan  Islam memiliki  peranan  sebagai  media  upacara  bagi  masyarakat  pendukungnya. Berkaitan  dengan  kegiatan  upacara  keagamaan  yang  menggunakan  media kesenian  tradisional  Islami  tersebut  DH.  Nurendah  Hamiddi  Madja  (1996:52) menyatakan bahwa: ”Salah satu fungsi kesenian, yang merupakan salah satu unsur kebudayaan,  ialah  meningkatkan  dan  mengembangkan  nilai  spiritual,  etis,  dan estetika  pada  diri  manusia  sebagai  makhluk  ciptaan-Nya  yang  tertinggi derajatnya”.
Berdasarkan pendapat  yang dikemukakan  oleh Nurendah Hamiddi Madja di  atas,  peneliti  berpendapat  bahwa:  meningkatkan  dan  mengembangkan  nilai spiritual  yang  dimaksudkan  adalah  kegiatan-kegiatan  yang  dilakukan  untuk mempertebal  keyakinan  atau  keimanan  seseorang  terhadap  Allah  SWT  dan  Nabi Muhammad saw sebagai Rasul-Nya. Tentu saja upaya yang dilakukan itu dengan menggunakan media kesenian.
Berbicara  tentang  fungsi  kesenian  tradisional  sebagai  media  upacara. Kesenian            Hadro  acapkali  disajikan  atau  dipergelarkan  pada  acara  40  hari kelahiran  bayi  (mahinum)  yang  dimaksudkan  sebagai  kegiatan  syukuran  atau nikmat yang diberikan oleh Allah SWT karena dikaruniai seorang anak. Kegiatan lainnya seperti upacara peringatan Maulid Nabi.
Dari  kegiatan  upacara  yang  dilakukan  oleh  para  pendukung  kesenian tradisional  Hadro  diharapkan  para  pendukungnya  dapat  menyimak  dengan  baik makna-makna  syair  yang  terkandung  di  dalamnya,  sehingga  dapat  mempertebal keimanan para pendukungnya dan pemainnya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b.         Kesenian Hadro sebagai Sarana Hiburan
Selain  berperan  sebagai  sarana  upacara  seperti  yang  telah  dipaparkan  di atas, banyak pula kesenian  yang memiliki peranan yang lain yaitu sebagai media hiburan.  Dalam  hal  ini  DH.  Nurendah  Hammidi  Madja  (1996:55)  mengatakan bahwa:  “Tidak  sedikit  seni  bernafaskan  Islami  yang  condong  serta  didominasi oleh sifat hiburan tinimbang sebagai media komunikasi dalam rangka pengemban amanat meneruskan dakwah Islamiyah”.
Seperti  yang  diungkapkan  oleh  Nurendah  Hammidi  Madja  pada penjelasannya  di  atas,  memang  tidak  sedikit  seni-seni  yang  bersifat  Islami condong  pada  sifat  hiburan.  Namun  demikian  menurut  penulis  kalaupun  lebih condong  pada  unsur  hiburannya,  sifat-sifat  dakwahnya  pun  masih  tetap  tampak pada pada untaian kata-kata yang dijadikan syairnya.
Berbicara  tentang  kesenian  Islam  yang  bersifat  hiburan,  maka  Hadro sebagai  salah  satu  kesenian  tradisional  Jawa  Barat  yang  bernuansa  Islami,  juga memiliki peranan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat pendukungnya. Hal ini dapat  kita  lihat  pada  pergelaran-pergelarannya  yang  bisa  dipertunjukkan  pada acara-acara pernikahan, khitanan, dan acara syukuran lainnya yang dilakukan oleh masyarakat sekitarnya.
      4.      Perkembangan Kesenian Hadro di Desa Bojong
Berbicara  mengenai  perkembangan  kesenian  tradisional,  Soepandi membaginya ke dalam dua, yakni sebagai berikut:
“Perkembangan yang bersifat vertikal dan horizontal. Perkembangan yang bersifat horizontal, artinya perkembangan yang sifatnya memperluas daerah penyebaran,  memperbesar  frekuensi  pementasan,  dan  memperbanyak reportoar  lagu.  Sedangkan  yang  dimaksud  dengan  perkembangan  yang bersifat  vertikal  artinya  perkembangan  yang  sifatnya  meningkatkan  mutu kesenian tersebut”.


Dari  pernyataan  di  atas,  seperti  yang  dialami  oleh  kesenian  tradisional lainnya.  Kesenian Hadro  pun  mengalami  perkembangan.  Kesenian  Hadro  mengalami perkembangan yang bersifat horizontal karena dalam kesenian  Hadro tersebut  terdapat  perkembangan  fungsi  dan  peranan,  juga  memperbanyak pembendaharaan materi sajian (teknik pertunjukan) tanpa merubah nilai yang ada di dalamnya.
Pada  mulanya  kesenian  Hadro  hanya  disajikan  atau  dipergelarkan  pada acara  Maulid  Nabi  Muhammad  saw  dan  pada  acara  40  hari  kelahiran  bayi (mahinum). Dalam perkembangan selanjutnya, kesenian Hadro dipergunakan pula pada  kegiatan  sosial  lainnya  seperti  telah  dikemukakan  di  atas  yaitu  diantaranya dalam  acara  khitanan,  pernikahan,  dan  acara  HUT  Kemerdekaan  Republik Indonesia.  Hal  ini  menunjukan  bahwa  perkembangan  fungsi  dalam  kesenian Hadro terjadi pada perkembangan fungsi sosialnya.
Seiring  dengan  kemajuan  di  berbagai  bidang  baik  teknologi,  komunikasi maupun  yang  lainnya  tentu  sangat  berpengaruh  pada  seni  kehidupan  manusia, yang  berarti  berpengaruh  pula  terhadap  perkembangan  seni  budaya  kita.  Dalam hal ini seorang pakar seni pertunjukan mengatakan bahwa:

“Ketika  modernisasi  atau  westernisasi  berlanjut,  ritual  pun  mengalami transpormasi  bentuk  dan  fungsi:  pilihan  seperti  obat-obatan  atau  peralatan modern  diperkenalkan  menggantikan  ritual,  atau  bahkan  mungkin menghilangkannya.  Orang  luar  yang  tidak  memiliki  latar  belakang  budaya yang  sama  dapat  mulai  mengembangkan  ritual  sebagai  tontonan  atau petunjuk  sambil mengesampingkan  fungsi  orisinalnya.”  (Shimeda  Takashi, 1997: 115)


Apabila  kita  simak  ungkapan  tersebut  di  atas,  kemudian  kita  kaitkan dengan  keadaan  masyarakat  sekarang,  khususnya  masyarakat  Desa  Bojong Kecamatan  Bungbulang  Kabupaten  Garut,  kita  dapat  melihat  betapa  besar pengaruh  modernisasi  terhadap  kehidupan  masyarakat  terutama  pada  sektor budaya  yang  ada.  Hal  ini  dapat  kita  lihat  pola  kehidupan  masyarakat  sehari-hari dari  mulai  kebutuhan  pakaian,  perabot  rumah  tangga  hingga  unsur  kepercayaan yang  mereka  anut,  jelas  mengalami  perubahan  bila  dibandingkan  dengan  masa-masa sebelumnya.
Proses  perkembangan  kesenian Hadro  di  Desa  Bojong  Kecamatan Bungbulang  Kabupaten  Garut  sangat  ditentukan  oleh  masyarakat  sebagai penyangga kesenian tersebut. Hidup dan matinya kesenian  Hadro tergantung dari masyarakatnya,  dalam  arti  ada  regenerasi  sebelumnya.  Hal  ini  sesuai  dengan pendapat Nugroho Susanto, bahwa “kebudayaan (kesenian) tidak pernah berakhir, kalau  dianggap  suatu  bangunan  di  tengah-tengah  alam  yang  harus  didirikan  oleh semua secara estafet”.
Begitu pula dengan keberadaan kesenian Hadro, setelah generasi terdahulu menghilang akan diteruskan oleh generasi selanjutnya. Antara  generasi terdahulu dengan  generasi  sekarang  tentunya  mengalami  perubahan,  dan  perkembangan yang  harus  disesuaikan  dengan  jamannya  agar  kesenian  tersebut  dapat  bertahan kelestariannya.
Perubahan  dan  tata  nilai  dalam  kehidupan  masyarakat  memiliki  unsur potensi  dan  motivasi  dalam  menghasilkan  perubahan  yang  dinamik.  Secara  garis besar perubahan itu menjadi bagian yang menyeluruh dalam kehidupan masyarkat seperti halnya masyarakat Desa Bojong Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut yang semakin berubah baik tata nilai sosial dan yang lainnya. Sebagai perubahan yang  wajar,  karena  semakin  berkembang  fungsinya  semakin  berkembang  pula peradaban  manusianya.  Kenyataan  ini  terbukti  pada  peresmian  Pameran Pembangunan dan HUT Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-48 di  Bandung,  kesenian  Hadro  diminta  untuk  pertunjukan  lalu  diundang  untuk dipertunjukan di dalam pembukaan HUT Kota Garut, dan pada acara-acara besar Nasional  serta  peristiwa  penting  yang  diselenggarakan  oleh  instansi  pemerintah Kabupaten Garut dan daerah sekitarnya. Sehingga proses perkembangannya terus berjalan sebagai proses untuk masa yang akan datang.
      5.      Proses Penyajian Kesenian Hadro pada Acara Mauludan
Pada  umumnya  setiap  kesenian  tradisional  dalam  penyajiannya mempunyai tata cara tersendiri. Hal ini berkaitan erat dengan kebiasaan serta adat istiadat  daerah  setempat.  Begitu  pula  dalam  kesenian  Hadro  yang  ada  di  Desa Bojong  Kecamatan  Bungbulang  Kabupaten  Garut,  dalam  penyajiannya mengalami tata cara tersendiri yang akan dijelaskan sebagai berikut:
a.       Persiapan sebelum pertunjukkan
Berdasarkan  data  yang  dapat  peneliti  kumpulkan  di  lapangan,  diperoleh keterangan  bahwa  penyajian  kesenian  Hadro  pada  awalnya  hanya  dilakukan  di halaman  atau  di  dalam  rumah.  Dengan  kata  lain  belum  menggunakan  panggung. Namun  dengan  berkembangnya  zaman  dan  pola  pikir  masyarakat  melalui pengaruh yang datang dari luar, maka pertunjukan kesenian Hadro pun mengalami perubahan,  yang  semula  hanya  dilakukan  di  halaman  atau  di  dalam  rumah,  kini pertunjukan  kesenian  Hadro  bisa  dipertunjukan  di  atas  panggung.  Bahkan  sering  pula dipertunjukan dalam bentuk helaran atau arak-arakan.
Waktu  pertunjukan  kesenian  Hadro  tidak  terikat,  artinya  kesenian  Hadro bisa dipertunjukan pada pagi hari, sore hari, bahkan bisa pula dipertunjukan pada malam hari. Begitu pula lamanya pertunjukan tidak memiliki ukuran waktu yang baku,  dalam  arti  lama  tidaknya  pertunjukan  kesenian  Hadro  tergantung  dengan kebutuhan.  Seperti  yang  dikemukakan  oleh  Bapak  Hasanudin,  bahwa  lama pertunjukan  kesenian  Hadro  yang  dipimpinnya  ada  satu  jam,  dua  jam,  tiga  jam bahkan  adapula  yang  meminta  semalam  suntuk.  Ini  menunjukan  bahwa  lamanya pertunjukan  kesenian  Hadro  tergantung  pada  kebutuhan.  Kesenian  Hadro  pada acara  mauludun  ini  dipertunjukkan  di  sebuah  ruangan  GOR  Desa  Bojong  pada waktu siang hari dengan lamanya pertunjukkan 1 jam.
Sebelum  pertunjukan  kesenian  Hadro  dimulai,  biasanya  terlebih  dahulu mempersiapkan  segala  hal  yang  diperlukan.  Persiapan  tersebut  meliputi  alat  atau waditra pengiring, koreografi, tata rias dan busana.
      1.      Koreografi
Koreografi  dalam  kesenian  Hadro  bersumber  pada  gerak-gerak  pencak silat  yang  sudah  distilir.  Sehingga  gerak-gerak  yang  diperagakan  tersebut  tidak sama persis dengan gerak pencak silat yang aslinya.
     2.      Tata rias dan Busana
Tata  rias  berfungsi  untuk  memperkuat  ekspresi,  perwatakan  dan pembentukan wajah. Tetapi dalam hal ini tata rias yang digunakan dalam kesenian Hadro  tidak  terlalu  menonjol.  Bahkan  bisa  disebut  sangat  sederhana  sekali. Karena  tata  rias  yang  digunakan  adalah  tata  rias  yang  digunakan  adalah  tata  rias dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun busana yang dipakai dalam kesenian Hadro, yaitu:
  Iket
Kain yang berbentuk segitiga dengan cara pemakaiannya dililitkan terlebih dahulu  lalu  dipasangkan  di  kepala,  ikatannya  berbentuk  silang  atau  disebut  juga dengan sebutan iket parengkos nangka.
   Baju Kampret
Baju berlengan panjang dengan warna putih dan memiliki kancing tengah.
   Selendang
Kain  yang  panjangnya  kurang  lebih  satu  meter  berwarna  merah.  Cara pemakaian selendang dililitkan didepan dada pada baju warna putih.
   Celana Pangsi
Celana panjang yang menggunakan warna putih atau hitam.
      3.      Waditra Pengiring
Dalam suatu pertunjukan kesenian Hadro waditra pengiring menjadi unsur yang  penting  untuk  menghidupkan  suasana.  Pengertian  waditra  adalah  sebutan untuk  alat  musik  tradisional.  Adapun  waditra-waditra  yang  digunakan  dalam kesenian Hadro adalah:
      a.       Terebang
Menurut Kamus Bahasa Sunda, terebang nyaeta ngaran tatabeuhan make kulit saperti dog-dog ngan ceper, ilahar dipake mirig lalaguan make bahasa Arab atawa  pasantren  (LBSS,  1981:584),  artinya  terebang  adalah  nama  alat  musik yang  memakai  kulit  seperti  dog-dog  hanya  berbentuk  pipih,  biasanya  dipakai untuk mengiringi lagu-lagu dalam bahasa Arab atau lagu-lagu pesantren.
Terebang  yang  digunakan  dalam  kesenian  Hadro  jumlahnya  terdiri  dari empat  buah.  Keempat  buah  terebang  tersebut  mempunyai  nama  masing-masing yaitu:
      1.      Terebang Talingtit
Waditra  terkecil  yang  berperan  sebagai  pembawa  pangkat  pada  suatu pergelaran.
      2.      Terebang Kempring
Waditra  ini  berperan  untuk  menentukan  tempo,  cepat  atau  lambatnya permainan.
      3.      Terebang Kompeang
Waditra ini berperan sebagai jenglong  untuk mengiringi irama kempring.
      4.      Terebang Bangsing
Waditra ini berperan sebagai goong kecil atau kempul.
      b.      Bajidor
Bajidor  berbentuk  bulat  seperti  bedug  dengan  diameter  60  cm.  Cara pemakaiannya  dipukul  dengan  pemukul  khusus  yang  terbuat  dari  kayu.  Bajidor berfungsi  sebagai  alat  komando  untuk  mengawali  dan  mengakhiri  lagu  pada kesenian Hadro. 
      c.       Terompet
Tarompet berfungsi sebagai pembawa melodi, pemberi ornamen pada lagu dan  dapat  memperkuat  suasana  khas  dalam  pertunjukan  kesenian  Hadro.  Laras yang  digunakan  pada  waditra  tarompet    adalah  laras  salendro/nyalendro  dan laras mataraman.
b.      Jalannya Pertunjukkan
Setelah  melaksanakan  tahapan  persiapan  di  atas,  selanjutnya  sebagai  jalannya  penyajian  kesenian  Hadro  pada  acara  Mauludan  yang  dilaksanakan  di dalam  ruangan  diawali  dengan  masuknya  penari  kemudian  disusul  oleh  para penabuh sambil membawa alat musik masing-masing. Biasanya penari berjajar di depan, sedangkan para penabuh berada di belakang penari.
Lagu-lagu  kesenian  Hadro  yang  biasa  disajikan  pada  acara  mauludan  ini terdapat  delapan  lagu.  Lagu-lagu  tersebut  adalah  lagu  Bismillah,    Assalamu, Sholawat, Nawaetu, Taqoballah, Alfasallu, Hayu Badan dan lagu Sholu Robbuna.
Penyajian  lagu-lagu  pada  kesenian  Hadro  memiliki  urutan  yang  baku seperti pada urutan lagu-lagu diatas. Hal tersebut disesuaikan dengan makna syair yang  terkandung  dalam  lagu-lagu  tersebut.  Lagu-lagu  itu  dinyanyikan  oleh  para penabuh  terebang,  mereka  menggunakan  gaya  bernyanyi  seperti  orang  yang sedang  pupujian  di  mesjid  menjelang  waktu  sholat.  Pelaku  kesenian  Hadro tersebut  tidak  memfokuskan  pada  teknik  vocal,  tetapi  mereka  lebih mengedepankan makna dari syair lagu yang dibawakan.
Dari  delapan  lagu-lagu  tersebut  diantaranya  memiliki  melodi  yang  sama  yaitu  lagu Assalamu  dengan  lagu  Shalawat,dan  lagu  nawaetu.    Tetapi  syair  lagu yang  dibawakan    berbeda  dan  disajikan  secara  berulang-ulang  sesuai  dengan kebutuhan.
c.       Akhir Pertunjukkan
Setelah selesai menyajikan lagu-lagu, pertunjukan kesenian Hadro biasanya diakhiri  dengan  pembacaan  do’a  yang  dipimpin  oleh  pimpinan  rombongan.  Hal ini  dilakukan  sebagai  ucapan  syukur  pada  Allah  SWT  yang  telah  memberikan kelancaran dalam proses pertujukan.
    C.    Kesimpulan
Kesenian  Hadro  merupakan  kesenian  tradisional  bernuansa  Islam  yang tumbuh  dan  berkembang  di  Desa  Bojong  Kecamatan  Bungbulang  Kabupaten Garut sejak tahun 1917 hingga saat ini. Lahir dan berkembangnya kesenian Hadro tidak lepas dari tumbuh dan berkembangnya syiar agama Islam.
Pada mulanya kesenian ini berdiri sebagai media untuk penyebaran agama Islam.  Namun  pada  saat  ini  kesenian  Hadro  tidak  saja  sebagai  kesenian  untuk penyebaran  agama  Islam  tetapi  juga  sebagai  sarana  hiburan  bagi  masyarakat pendukungnya. Walaupun demikian, hal tersebut tidak merubah nilai-nilai estetika yang terdapat dalam kesenian Hadro. Karena dari dahulu hingga sampai sekarang, tidak  terjadi  perubahan  terhadap  melodi  dan  syair-syair  lagu  dalam  kesenian Hadro.
Syair-syair  lagu  yang  terdapat  pada  kesenian  Hadro  diambil  dari  sebuah kitab  yang  bernama  kitab  Al-Barjanji.  Makna  yang  terkandung  dari  lagu-lagu kesenian Hadro mengandung pesan tentang ajaran agama  Islam. Banyaknya lagu yang  disajikan  pada  acara mauludan  terdiri  dari  delapan  lagu  yaitu:  lagu Bismillah,  Assalamu,  Sholawat,  Nawaetu,  Taqoballahu,  Al-fasallu,  Hayu  Badan dan lagu Sollurobbuna. Lagu-lagu tersebut dibawakan oleh seorang penyanyi solo (ngahadi) dan kemudian diikuti secara rampak (saur).
Untuk  mengiringi  lagu-lagu  yang  disajikan  pada  kesenian  Hadro digunakan  empat  buah       waditra  terebang,  satu  buah  bajidor,  dan  satu  buah tarompet. Dari sekian banyak  waditra  yang digunakan dalam penyajian kesenian Hadro dapat disimpulkan bahwa: pola tabuh yang digunakan pada kesenian Hadro terdiri  dari  empat  pola  tabuh  yaitu:  pola  tabuh  Banten,  Cirebon,  Bingbruk,  dan Kincar.



Sumber :
Hidayana, Iip Sarip. 1997. Lagam Salawat Cirebon. Bandung: STSI Bandung.
Kurnia,  G  dan  Nalan,  A.  2003.  Deskripsi  Kesenian  Jawa  Barat.  Bandung: Disbudpar Jawa Barat dan Pusat Dinamika Pembangunan UNPAD.
LBSS. 1981. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Teratai.
Madja,  D.H.  Nurendah  Hamiddi.  1996.  Seni  Islami  sebagai  Media  Komunikasi. Buletin Kebudayaan Jawa Barat.
Poerwadarminta,  WJS.  1984.  Kamus  Umum  Bahasa  Indonesia.  Jakarta:  Balai Pustaka.
Soedarsono,  R.M.  1999.  Seni  Pertunjukan  Indonesia  di  Era  Globalisasi. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sukrisnawanti,  Diah  dan  Samsuri  Jari.  1993.  Seni  Sebagai  Media  Pendidikan Islam.  Jakarta:  Lembaga  Pembinaan  dan  Pengembangan  Taman  Kanak-kanak Al-Qur’an Badan Komunikasi Pemuda Mesjid Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar